Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuka Jendela Toleransi dan Wawasan melalui Kompasiana

23 Oktober 2020   13:01 Diperbarui: 23 Oktober 2020   13:04 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana.com | Foto diambil dari Kompasianer Abdul Azis

Tidak terasa sudah setahun lebih saya bergabung dalam Kompasiana, walau sekarang aktivitas menulis dan menikmati tulisan teman-teman Kompasiana sudah jarang, akan tetapi kalau ada waktu lowong, sudah dipastikan saya akan membuka akun Kompasiana.

Selama berada di Kompasiana, banyak hal yang saya pelajari, antara lain memupuk rasa toleransi dalam menerima perbedaan pendapat dan menambah wawasan, serta belajar untuk melihat segala sesuatunya tidak dari sudut pandang pribadi, melainkan harus ada pertimbangan dari sudut pandang pihak lainnya. Juga, memotivasi saya untuk terus berkarya selama masih nafas masih berhembus.

# Toleransi dalam menerima perbedaan pendapat

Dalam pandangan politik, secara terbuka, saya menyatakan pendukung sejati Presiden Jokowi dulunya. Dan sempat saya pengagum yang obsesi, dimana apa yang dilakukan beliau selalu benar, dan pihak lain yang bertentangan adalah salah.

Pasangan saya yang memahami seluk beluk politik menegur saya untuk bersikap netral, karena dalam politik tidak ada lawan dan tidak ada teman. Saya dulunya seringkali kekeuh kalau dibilangin, hingga akhirnya ia lebih memilih diam daripada bertengkar. Hehe. 

Sampai akhirnya saya seringkali membaca tulisan Kompasianer yang memberikan kritik dan saran pada pemerintahan Jokowi. Tulisan teman-teman Kompasianer ini tidak ada unsur kebencian sama sekali, tapi benar-benar seperti memberikan opini sebagai warga negara berdasarkan apa yang dialami dan diperhatikan disekitarnya. 

Dari sana, saya seringkali mendiskusikannya dengan pasangan saya, hingga pelan-pelan rasa kekaguman yang terlalu obsesi sampai bersikap seperti seorang bonek (bodoh dan nekat) berubah menjadi rasa toleransi ketika ada pendapat yang berbeda mengenai kebijakan pemerintahan ataupun perasaan terhadap idola saya tersebut.

Ada juga kejadian, dimana ada dua Kompasianer komentarnya kerap membuat saya suka emosi. Hehe, maaf ya. Tapi Kompasianer tersebut sih tidak pernah berkomentar di artikel saya. Saya agak merasa cara mereka menulis dan berkomentar seperti menghakimi dan merasa pendapatnya paling benar. 

Tapi ada sikap Kompasianer yang sangat saya kagumi, seperti Mas Ropingi Surobledhek (saya tidak tahu sekarang beliau memakai username apa). Beliau menanggapi komentar-komentar mereka dengan sikap humor, dan terkadang sarkasme. Kemudian mereka malah saling bercanda, dan dari sana saya baru memahami mengapa kedua Kompasianer itu sering memberikan komentar kurang menyenangkan, ternyata mereka sengaja. Aslinya, ternyata kedua Kompasianer tersebut menyenangkan juga. 

Dari Mas Ropingi ini saya belajar bersikap santai dalam menghadapi perbedaan pendapat, walupun pendapat orang lain membuat emosi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun