Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Minimalis yang Beracuan pada Kejawen dan Pancasila

4 Februari 2020   15:23 Diperbarui: 4 Februari 2020   15:36 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup minimalis | Foto chintai.net

Hidup minimalis menjadi gaya hidup yang sedang tren. Dimulai dari Jepang, kemudian menular ke Amerika Serikat, Australia dan tentu Indonesia tidak kalah juga, yang mulai menerapkan hidup minimalis ini. Saya pun sekarang ini sedang menjalankannya, apalagi manfaatnya tidak sekedar dalam hal ekonomi saja, akan tetapi berpengaruh pada psikologi dan cara berpikir. 

Seminggu ini saya tidak menulis, karena saya sedang mendalami pengetahuan baru yang saya temukan tentang hidup minimalis selama kurang lebih dua bulan ini. Dan hasilnya benar-benar membuat saya kaget, betapa saya terlalu meremehkan kebudayaan negara saya, karena hidup minimalis yang saya terapkan malah mengacu pada negara Jepang.

Padahal dari nenek moyang kita sebenarnya sudah mengajarkan cara hidup minimalis. Dulu saya anggap hidup sederhana yang dijalankan nenek moyang kita adalah bentuk dari penghematan, akan tetapi ternyata saya salah besar.

Izinkan saya memaparkan hasil dari penelusuran hidup minimalis ini dalam budaya dan ideologi negara kita.

# Kejawen

Pulang dari Pemakaman Imogiri, saya pun banyak mencari tahu tentang Sultan Agung. Salah satunya tentang Sastra Gendhing, sastra yang ditulis oleh beliau sendiri, dimana sastra tersebut terlihat beliau sangatlah mengagumi Kebesaran Allah, dan menghormati budaya Jawa yang diwarisi turun-temurun.

Inti yang saya tangkap dari Sastra Gendhing adalah hidup manusia memiliki makna apabila terus belajar, menghormati budaya dan negaranya, serta selalu bertakwa pada Allah, dan dalam mencari ilmu, jangan merasa pintar sendiri, akan tetapi haruslah tetap berdiskusi dengan ahlinya. 

Dari sana saya menangkap bahwa Sri Sultan adalah orang yang memiliki pegangan agama  yang kuat, cerdas dan memiliki jiwa seni yang kuat. Namun ada hal yang menimbulkan pertanyaan dalam diri saya, mengapa dalam masa pemerintahan beliau terciptalah Islam Kejawen? Padahal setahu saya, Kejawen itu adalah aliran kepercayaan yang menganut sistem animisme dan dinamisme. Hal yang tentu bertolak belakang dengan agama mana pun. 

Seperti mendapatkan tuntunan, saya malah menemukan buku yang dijual di Gramedia tentang Islam dan Kejawen. Saya pun membelinya, dan mulai membacanya. Ternyata pengertian saya tentang Kejawen itu salah kaprah. Kejawen sendiri sebenarnya mengatur tentang moralitas manusia, dan hubungannya dengan makhluk halus sendiri, semata-mata untuk menghormati keberadaan makhluk halus, bukannya menyembahnya.

Tentu untuk saya menghormati dan menyembah adalah dua hal yang berbeda. Menghormati berarti menghargai keberadaannya, menyembah berarti percaya dengan iman, sekaligus memuja. 

Penasaran antara hubungan dari Kejawen dan moralitas, saya mencoba salah satu jenis puasa ala Kejawen. Puasanya pun yang paling mudah saja,  yakni menahan hawa nafsu emosi, makan dan minum. Awalnya saya tidak mengiringinya dengan doa, karena saya pikir toh saya berpuasa ini bukan ingin meminta, melainkan keingintahuan saja. Akan tetapi, selama berpuasa, ada dalam diri saya yang terdorong untuk berdoa. Bukan karena ingin meminta sesuatu, melainkan timbul rasa syukur yang bertubi-tubi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun