Setiap tahun, Laut Natuna Utara tak pernah benar-benar tenang.
Bukan karena badai, tapi karena kapal-kapal asing yang terus masuk tanpa izin. Banyak di antaranya datang dari Vietnam, membawa alat tangkap dan awak kapal yang seolah tak peduli batas wilayah negara lain.
Di sisi lain, nelayan Indonesia terutama dari Natuna merasa resah. Bukan hanya soal ikan yang makin sedikit, tapi juga soal ancaman keamanan. Kapal patroli pun dikerahkan. Kapal-kapal asing ditangkap. Namun, pertanyaan yang lebih besar muncul: kenapa Vietnam? Dan kenapa terus berulang?
Menariknya, Indonesia dan Vietnam bukan musuh. Justru sebaliknya, keduanya adalah sesama anggota ASEAN dan telah menjalin berbagai bentuk kerja sama, termasuk di bidang maritim. Tapi realita di laut berkata lain: konflik kecil masih terjadi, penangkapan kapal terus berulang, dan diplomasi pun diuji.
Lalu, apa sebenarnya wajah hubungan Indonesia dan Vietnam di Laut Natuna? Apakah ini pertanda dari ketegangan yang terselubung, atau justru proses panjang menuju kolaborasi sejati di perairan yang sama-sama vital?
Laut Natuna Utara bukan sekadar laut biasa.
Di bawah permukaannya, tersimpan salah satu cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik. Secara ekonomi, wilayah ini menjadi aset vital bagi Indonesia. Tapi, bukan hanya soal energi. Laut ini juga menjadi zona penangkapan ikan yang kaya, sumber penghidupan bagi ribuan nelayan Indonesia.
Secara geografis, Laut Natuna Utara berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, wilayah yang sarat sengketa. Ini menjadikan Natuna sebagai titik rawan, di mana kedaulatan, ekonomi, dan geopolitik bertemu dalam satu ruang sempit.
Masalah muncul ketika klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia bertabrakan dengan klaim historis Vietnam. Vietnam menganggap wilayah itu bagian dari tradisi lama mereka, sementara Indonesia berpegang pada hukum internasional berdasarkan UNCLOS 1982. Akibatnya? Kapal-kapal Vietnam kerap masuk, mencari ikan di perairan yang menurut hukum internasional adalah milik Indonesia.
Bagi masyarakat pesisir, ini bukan sekadar persoalan antarnegara. Ini soal perut, soal kehidupan sehari-hari. Bagi Indonesia, ini juga soal menjaga kedaulatan tanpa memperkeruh suasana kawasan.
Beberapa tahun terakhir, berita tentang penangkapan kapal ikan Vietnam terus menghiasi media nasional. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, sejak 2014 hingga 2023, ratusan kapal Vietnam telah diamankan karena menangkap ikan secara ilegal di wilayah Indonesia, sebagian besar di Laut Natuna Utara.
Pemerintah Indonesia, terutama pada masa Menteri Susi Pudjiastuti, mengambil langkah tegas: menangkap, bahkan menenggelamkan kapal-kapal ilegal sebagai bentuk penegakan kedaulatan. Langkah ini mendapat dukungan luas di dalam negeri, meski sempat menimbulkan ketegangan diplomatik dengan negara tetangga.
Namun setelah itu, pendekatan lebih diplomatis mulai dikedepankan. Indonesia dan Vietnam menggelar beberapa perundingan untuk membahas batas ZEE. Ada titik terang, tapi belum sepenuhnya selesai, karena sensitivitas nasionalisme di kedua belah pihak.
Vietnam sendiri, dalam beberapa kasus, menyatakan keberatan atas tindakan keras Indonesia, namun tetap menunjukkan itikad untuk berdialog dan mencari solusi. Kedua negara sama-sama sadar bahwa hubungan mereka tak bisa dikorbankan hanya karena persoalan ini. Di tengah ancaman yang lebih besar di kawasan, seperti ekspansi kekuatan Tiongkok, solidaritas ASEAN tetap menjadi pertimbangan strategis.
Hubungan Indonesia dan Vietnam di Laut Natuna seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ketegangan masih terasa. Penangkapan kapal terus terjadi, masing-masing negara saling mengajukan protes diplomatik. Nelayan dari kedua belah pihak merasa menjadi korban dari batas-batas yang belum sepenuhnya jelas, dengan nasib mereka tergantung pada negosiasi tingkat tinggi yang sering berjalan lambat.
Namun di sisi lain, ada juga kolaborasi.
Pada tahun 2022, Indonesia dan Vietnam berhasil menandatangani kesepakatan prinsip tentang perbatasan ZEE. Ini langkah penting untuk mengurangi insiden di lapangan, meski implementasinya masih butuh waktu, verifikasi teknis, dan negosiasi lanjutan untuk menyelesaikan detail praktis. Selain itu, kedua negara juga aktif di berbagai forum ASEAN, mempromosikan kerja sama keamanan maritim, mekanisme pencegahan insiden laut, dan penyelesaian damai sengketa berdasarkan prinsip hukum internasional.
Faktanya, konflik ini justru memperlihatkan bahwa hubungan bilateral bisa saja diuji oleh realitas di lapangan, tapi juga bisa diperkuat lewat kesabaran dan diplomasi yang konsisten.
Dalam konteks lebih luas, ASEAN punya peran penting di balik layar.
Sebagai organisasi regional, ASEAN mendorong penyelesaian damai sengketa laut melalui dialog, bukan konfrontasi. Prinsip non-intervensi dan "ASEAN Way" yang menekankan musyawarah dan konsensus seringkali dikritik lamban dan tidak cukup tegas, namun setidaknya berhasil menjaga kawasan tetap relatif damai dibandingkan wilayah sengketa lain di dunia, seperti Laut Hitam atau kawasan perbatasan Kashmir.
Indonesia, sebagai negara kunci di ASEAN dan sering dijuluki "natural leader" kawasan ini, berpeluang besar untuk mendorong penguatan mekanisme kerja sama maritim. Jika berhasil, ini tak hanya menguntungkan Indonesia sendiri, tetapi juga memperkuat solidaritas kawasan di tengah ketegangan global yang meningkat. Inisiatif seperti peningkatan patroli bersama, pertukaran informasi maritim, dan pengembangan protokol manajemen konflik perlu terus diintensifkan.
Laut Natuna Utara mengajarkan kita bahwa menjaga kedaulatan tidak harus berarti memutus hubungan.
Indonesia dan Vietnam sama-sama punya kepentingan besar: menjaga sumber daya laut, memastikan keamanan wilayah, dan mempertahankan reputasi di kancah regional yang semakin kompetitif.
Tantangannya adalah bagaimana bersikap tegas tanpa menutup jalur dialog. Bagaimana melindungi nelayan sendiri tanpa menyalakan api permusuhan. Bagaimana mengedepankan prinsip hukum internasional sambil tetap membangun kepercayaan bersama. Laut yang sama yang kini penuh ketegangan, suatu saat bisa menjadi lautan kerja sama asal keduanya berani membuka ruang untuk penyelesaian damai yang adil dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI