Mohon tunggu...
Namira Aminatuzahra
Namira Aminatuzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030040)

Beginner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Toxic Positivity: Ketika Kita Dituntut untuk Selalu Baik-Baik Saja

17 Maret 2021   22:40 Diperbarui: 17 Maret 2021   23:00 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://dailycampus.com/

Akibat Buruk dari Toxic Positivity

Toxic positivity dapat berpengaruh buruk pada mental kita, salah satu akibat dari toxic positivity ini adalah timbulnya rasa malu yang berlebihan. Memaksakan pandangan positif tentang rasa sakit berarti mendorong seseorang untuk tetap diam dan tidak menceritakan mengenai kesulitan yang sedang ia hadapi.

Sebagian besar dari kita tidak ingin terlihat buruk di mata orang lain, jadi ketika dihadapkan dengan pilihan antara “berani dan jujur” atau “berpura-pura semuanya berjalan lancar”, kita mungkin tergoda untuk memilih opsi kedua. 

Penulis dan peneliti Brené Brown mengajarkan dalam beberapa bukunya, presentasi, dan wawancara bahwa sumber energi rasa malu adalah diam, kerahasiaan, dan penilaian. Rasa malu melumpuhkan jiwa manusia dan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang bisa kita rasakan. 

Seringkali, kita bahkan tidak tahu bahwa kita merasa malu. Salah satu petunjuk untuk mengetahuinya adalah dengan bertanya pada diri kita, "Jika mereka tahu __________ tentang saya, apa yang akan mereka pikirkan?" atau "Sesuatu yang saya tidak ingin dunia ketahui tentang saya adalah _______________." Jika kamu dapat mengisi kekosongan itu, entah itu situasi, perasaan, atau pengalaman, kemungkinan besar ada rasa malu di sekitarnya.

Jadi, sekarang setelah mengetahui bahwa dorongan positif bukanlah cara yang sepenuhnya benar untuk mengatasi saat-saat sulit, lalu bagaimana langkah selanjutnya? inilah beberapa solusi agar tidak terjerumus dalam toxic positivity:

  1. Berusaha untuk menerima emosi negatif dan positif. Ingatkan dirimu bahwa kamu mampu memegang berbagai perspektif tentang situasi yang tidak pasti atau meresahkan, bahkan saat berada di tengah-tengahnya. Bersandarlah pada hal positif dan negatif. Berusahalah untuk realistis. Jangan terlalu menekan dirimu sendiri, jika merasa lelah, terimalah dan ekspresikan rasa lelahmu itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ford, Lam, John dan Mauss, bahwa dalam jangka panjang, penerimaan (acceptance) akan pengalaman-pengalaman negatif justru mendukung kesehatan psikologis. Apa artinya? Ketika kita bisa murni menerima perasaan negatif, tanpa perlu menghakimi, justru kita bisa meraih kesehatan psikologis yang lebih baik. Menerima apa adanya ternyata membantu kita untuk menangani stres. Hal ini karena untuk bisa sepenuhnya sehat mental, kita pun perlu punya perangkat yang memadai untuk bisa mengungkapkan emosi  dengan seluruh keberagamannya, bukan hanya yang positif saja, tetapi termasuk yang negatif. Jika kita hanya bersedia mengakui hal-hal positif, justru akan menimbulkan ketidakseimbangan mental pada diri kita.
  2. Jadilah pendengar yang baik untuk lawan bicaramu. Jika ada orang lain menceritakan mengenai hal yang membuatnya tertekan, sebenarnya hal pertama yang ia butuhkan adalah untuk didengarkan. Maka, jadilah pendengar yang baik dan berikan ruang agar ia bisa menceritakan masalahnya secara leluasa. Setelah itu, cobalah untuk berempati dan memahami kondisi yang tengah ia hadapi, barulah berikan solusi yang konkret agar ia bisa keluar dari masalahnya. Jika tidak bisa memberinya solusi, cukup dengarkan dia dan jangan sampai melontarkan dukungan palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun