Mohon tunggu...
Nur Mila Isnaini
Nur Mila Isnaini Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Manejemen dan Karyawan swasta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tragedi Kanjuruhan, Seandainya Supporter Tidak Masuk ke Lapangan atau Seandainya Aparat Paham Prosedur Pengamanan?

5 Oktober 2022   22:45 Diperbarui: 5 Oktober 2022   22:46 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tanggal 1 Oktober 2022, kita semua memperingati hari kesaktian Pancasila dan sekaligus dirundung duka yang mendalam.  Di tanggal tersebut terjadi peristiwa yang luput dari prediksi, yakni Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang. Tak sedikit yang luka-luka dan dirawat di rumah sakit bahkan meninggal dunia mencapai angka 125 orang.

Pertandingan sepak bola yang biasanya akrab dengan sorak gembira dan yel-yel antar tim, tapi kali ini berubah menjadi acara doa bersama dan tabur bunga di Stadion Kanjuruhan Malang. Dari rumah membawa harapan, tim yang didukung akan menang tapi pulang tinggal badan. Mirisnya bukan hanya orang dewasa, banyak anak-anak yang meninggal di dalam peristiwa tersebut.

Siapa yang sebenarnya yang harus bertanggungjawab atas peristiwa tersebut? Kalau jawabannya kita semua kok rasanya ada pihak yang terlalu cuci tangan. Ini bukan peristiwa kecekalaan lagi tapi sebuah tragedi yang menewaskan seratus lebih orang. Mereka bukan dalam acara demo tapi mereka sedang menonton pemain idola mereka bermain sepak bola.

Jika kita mencoba telaah dari rekaman video amatir salah satu penonton di tribun yang berdurasi cukup panjang dan mengabadikan momen ketika peluit panjang sudah dibunyikan  sampai pada adanya tembakan gas air mata oleh anggota berseragam ke tribun. Didalam rekaman tersebut jelas sekali di awal video hanya terlihat 2-3 orang supporter yang memasuki lapangan.

Untuk kepentingan mereka, kita tidak tahu pastinya. Namun jika kita ingin sedikit meraba-raba, psikologis suporter yang menyaksikan timnya kalah di kandang sendiri pasti akan ada rasa kecewa dan marah. Perasaan tersebut mungkin mencoba disampaikan mereka ke pemain atau ke pihak terkait sekedar menanyakan "apakah kurang persiapan atau memang lawan terlalu kuat".

Psikologis tersebut tentunya normal dan wajar, tapi cara menyampaikannya tidak tepat dan dalam timing yang kurang pas. Terlebih memang ada aturan yang mengatakan bahwa supporter dilarang memasuki area pertandingan Ketika sedang berlangsung.

Seandainya mereka tidak memasuki lapangan dan tertib mungkin betul tragedi tersebut tidak akan terjadi. Namun rasanya terlalu munafik juga Ketika tidak mengevaluasi dari sistem pengamanan pada saat kejadian berlangsung.

Mari kita kembali menyaksikan video amatir supporter yang saat kejadian ada disana. Ketika 3 orang supporter memasuki lapangan, pihak keamanan berusaha mengamankan mereka dan belum ada kekerasan yang terlihat disana. Namun Ketika supporter semakin banyak yang turun, anggota berseragam dan bersenjata mulai bermunculan dan berujung pada menembakkan gas air mata ke para supporter yang mulai anarkis.

Saat mereka dipukul mundur dan mencoba kembali ke tribun, dari belakang telihat anggota berseragam menendang  setidak-tidaknya 2 orang supporter. Tidak hanya itu, ada rekaman video dari supporter yang terlihat sedang memohon kepada aparat pengamanan untuk tidak memakai gas air mata untuk mengamankan situasi tapi direspon dengan usiran untuk keluar. Masih di dalam video yang sama, disana terlihat aparat mencoba menembakkan gas air mata kea rah tribun yang  menyebabkan kepulan asap serta kepanikan supporter. Terdengar dalam video tersebut teriakan supporter yang berkata kasar kepada aparat karena mereka merasa tidak berulah tapi kena tembakan gas air mata juga.

Jika melihat aturan FIFA yang sudah cukup detail dalam mengatur pengamanan stadion pertandingan sepak bola, disana dikatakan bahwa tidak diperpobehkan menggunakan gas air mata dalam usaha mengamankan kerusuhan supporter.

Aturan sudah jelas tapi kenapa anggota yang diterjunkan dibekali senjata yang dilarang dalam aturan FIFA? Faktor ketidaktahuan, arogansi atau faktor kelalaian? Jika factor ketidaktahuan ini sangat parah sekali karena seorang pengaman yang tugasnya mengamankan situasi tapi justru malah membuat situasi menjadi caos. Rasanya kurang relevan lah kita menganggap para anggota berseragam dan bersenjata tidak tahu adanya aturan tersebut dalam pengamanan sepakbola.

Dari mereka mengatakan bahwa gas air mata terpaksa ditembakkan karena supporter sudah mulai anarkis dan mereka mengklaim bahwa penembakan gas air mata sudah sesuai dengan prosedur yang  berlaku? Sungguh demikian kah cara penyelesaian masalahnya ?

Stadion adalah ruangan terbuka itu betul. Kalau dianggap aman ketika gas air mata ditembakkan karena hanya pertimbangan stadion di indonesia terbuka dan tidak seperti stadion luar negeri, apkah iya begitu? Apakah tidak terlintas pemikiran, bahwa gas air mata ini ketika ditembakkan dampaknya apa? Sebelum menekan pelatuk tembakan gas air mata apakah tidak sempat memikirkan bahwa supporter dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak sampai dewasa dan perempuan? Apakah pintu exit aman untuk mereka keluar jika nantinya terjadi kerumunan karena panik terkena gas air mata? Hingga desak-desakan dan injak-injakan pun terjadi karena supporter sibuk menyelamatkan diri mereka masing-masing karena kesulitan bernafas dalam kerumunan ribuan orang dan pintu exit terbatas.

Sesingkat memikirkan yang penting supporter tidak di area lapangan kah? Kalau mengklaim bahwa sudah ada prosedur, pertanyaannya itu prosedur pengamanan masa yang demo di tempat terbuka yang benar-benar terbuka atau pengamanan supporter dalam stadion yang pintu exitnya terbatas?

Apalagi narasinya? Kalah jumlah? Sehingga terpaksa mengambil tindakan yang menumbalkan nyawa manusia, dimana mereka datang hanya ingin menyaksikan timnya menang? Untuk mengolah informasi betapa bahayanya gas air mata rasanya sangat mudah lah di google banyak diulas.

Menjalankan pekerjaan sampai sukses itu penting tapi keprofesionalan dan hati nurani perlu juga disertakan.  100 orang lebih itu nyawa manusia yang tidak sepantasnya dihargai seharga tiket sepakbola. Banyak anak-anak yang seharusnya masih bisa melanjutkan hidup panjang dan cita-citaa mereka.

Sepak bola tidak terhindar dari bisnis, tapi nyawa manusia lebih berharga dari itu. Pertimbangan banyaknya kuota supporter layak menjadi sorotan juga, apakah sudah sesuai dengan standart keamanan atau justru malah melebihi kapasitas yang ada demi mengejar keuntungan?

Setelah kejadian ini bukan soal siapa saja yang akan dipecat tapi pengharapan orang banyak adalah bagaimana diciptakan sistem didalam persepakbolaan yang terstandarisasi dan jauh dari arogansi.

 Manusia akan selamanya menjadi makhluk rakus, setidaknya gunakanlah hati Nurani dan logika dalam menimbang semuanya, bukan hanya dibutakan untuk satu kepentingan semata.

Turut berduka cita yang mendalam  atas korban tragedi Kanjuruhan Malang. Semoga keluarga diberikan ketabahan dalam merelakan orang tersayangnya. Teruntuk yang sampai saat ini masih menjalani perawatan di rumah sakit semoga lekas pulih. Aamiin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun