Mohon tunggu...
Najwa Rosalia
Najwa Rosalia Mohon Tunggu... 24107030036

Mbak mbak uin yang sedang mengejar nilai sempurna untuk mata pelajaran jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Money

Job Fair: Sandiwara Harapan Tiket Masuknya Orang Dalam

4 Juni 2025   17:44 Diperbarui: 4 Juni 2025   17:44 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
para pelamar pekerjaan (sumber: Internet)

Setiap tahun, ribuan harapan membludak dan memadati Job Fair, menciptakan suasana yang penuh dengan senyum optimisme, tumpukan CV, dan mimpi setinggi langit. Di balik setiap antrean panjang, tersembunyi kisah tak terucap tentang jam-jam persiapan yang melelahkan dan perjuangan melawan ribuan pesaing demi sekadar menempelkan lamaran di dinding booth perusahaan impian. Namun, di balik gemerlap acara dan janji manis rekrutmen, sebuah ironi menganga: apakah semua energi, waktu, dan harapan ini berlabuh pada wadah yang tepat?


Ironisnya, Job Fair kini sering kali hanya menjadi panggung formalitas belaka, sebuah kewajiban administratif yang digugurkan perusahaan agar terhindar dari sanksi. Pintu kesempatan yang sesungguhnya kerap tertutup rapat bagi mereka yang tulus berjuang, sementara peluang justru terbuka lebih lebar bagi "orang dalam" yang datang dengan "tiket emas" rekomendasi. Hal ini mengikis habis prinsip meritokrasi dan mengkhianati jutaan asa yang telah dibuang dalam tumpukan CV tak tersentuh.

Narasi Job Fair sebagai jembatan karier mulai runtuh, berganti dengan bisik-bisik pahit yang kini bergema di setiap sudut kampus dan forum pencari kerja. Di tengah hiruk-pikuk ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita masih percaya bahwa kerja keras dan dedikasi akan membuahkan hasil? Atau, akankah kita terus terjebak dalam siklus harapan yang tak berujung, sementara kesempatan nyata semakin menjauh? Mari kita telusuri lebih dalam realitas di balik Job Fair, di mana harapan dan kenyataan sering kali berseberangan.

Sejatinya, Job Fair adalah jembatan ideal yang mempertemukan talenta terbaik dengan peluang karier. Ia dirancang sebagai ruang meritokrasi, di mana kualifikasi dan kompetensi menjadi satu-satunya penentu. Namun, realitas di lapangan seringkali jauh panggang dari api. Bayangkan, ribuan CV menumpuk di meja-meja perusahaan; setiap lembar adalah narasi tentang pendidikan keras, soft skill yang diasah, dan mimpi yang disemai. Para pelamar datang dengan outfit terbaik, senyum termanis, dan semangat membara. Ironisnya, euforia ini seringkali berujung pada keheningan telepon pasca-acara. Sebuah studi internal (atau observasi mendalam) bisa menunjukkan bahwa rasio penerimaan dari walk-in applicant di Job Fair sangatlah minim, seolah acara itu hanyalah checklist formalitas yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk memenuhi standar regulasi atau citra korporat. Ini bukan lagi soal kompetisi sehat, melainkan ilusi kesempatan yang menyakitkan

Di tengah pusaran formalitas itu, muncul narasi yang semakin terang-terangan dan menggerogoti integritas rekrutmen: praktik "orang dalam". Bisik-bisik di antara pencari kerja yang frustrasi kini bertransformasi menjadi keluhan publik yang sah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak posisi strategis, bahkan yang sebenarnya bisa diisi oleh lulusan baru, justru "diamankan" bagi lingkaran tertentu. Mereka adalah anak, keponakan, kerabat, atau kolega yang masuk bukan karena curriculum vitae unggulan, melainkan karena jalur koneksi. Proses rekrutmen di Job Fair, dengan demikian, hanya berfungsi sebagai "penyaring" kandidat cadangan atau bahkan sebagai alat untuk "membenarkan" proses yang sebenarnya sudah diputuskan di balik meja. Keberadaan praktik ini tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga mematikan semangat inovasi dan meritokrasi yang seharusnya menjadi pondasi utama pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.

Dampak Buruk dan Konsekuensi Sistemik -- Siapa yang Sesungguhnya Rugi?
Dampak dari fenomena Job Fair sebagai formalitas dan dominasi "orang dalam" ini tidak hanya terbatas pada kekecewaan individu. Secara sistemik, praktik ini menciptakan lingkaran setan yang merugikan semua pihak, termasuk perusahaan itu sendiri. Pertama, produktivitas dan kualitas kerja berpotensi menurun karena talenta terbaik yang tidak memiliki koneksi justru terpinggirkan. Kedua, menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap institusi korporat dan pasar kerja, yang pada gilirannya dapat menurunkan partisipasi dan antusiasme pencari kerja di masa depan. Ketiga, menghambat mobilitas sosial dan pemerataan kesempatan, memperlebar jurang antara "punya koneksi" dan "tidak punya koneksi". Pada akhirnya, fenomena ini melahirkan generasi pencari kerja yang apatis, skeptis, dan merasa bahwa kerja keras dan kompetensi tidak lagi menjadi jaminan, melainkan hanya secarik dummy yang akan berakhir di tempat sampah setelah Job Fair usai.


Solusi dan Harapan: Mungkinkah Ada Perubahan?

Lantas, apakah kita harus menyerah dan pasrah pada realitas pahit ini? Tentu tidak. Perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif. Bagi perusahaan, ini adalah panggilan untuk mengembalikan integritas proses rekrutmen. Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Gunakan teknologi untuk screening yang objektif, blind recruitment (menilai tanpa tahu identitas pelamar) untuk mengurangi bias, dan berani menolak intervensi. Bagi pemerintah dan regulator, perlu ada pengawasan yang lebih ketat terhadap penyelenggaraan Job Fair dan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang terbukti hanya menjadikan ajang ini sebagai formalitas. Bagi pencari kerja, jangan berhenti mengasah kompetensi dan membangun personal branding yang kuat di luar jalur formal, sambil tetap bersuara kritis terhadap praktik yang tidak adil. Job Fair harusnya bukan sekadar etalase, melainkan sebuah pintu yang benar-benar terbuka bagi setiap talenta yang layak. Mari bersama-sama menuntut sebuah pasar kerja yang lebih adil dan transparan, demi masa depan yang lebih meritokratis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun