Mohon tunggu...
Najwa Rosalia
Najwa Rosalia Mohon Tunggu... 24107030036

Mbak mbak uin yang sedang mengejar nilai sempurna untuk mata pelajaran jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bunker Kaliadem: Sunyi yang Bercerita di Antara Merapi dan Kenangan yang Tertinggal

31 Mei 2025   20:35 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:13 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
bunker kaliadem (sumber:Internet)

Satu hal yang tak pernah saya sangka saat berkunjung ke Yogyakarta adalah, bahwa sebuah tempat yang sunyi bisa begitu ramai dalam ingatan. Waktu itu, saya mengikuti Lava Tour Merapi seperti wisatawan pada umumnya. Menyusuri jalur lava bekas letusan, melewati bebatuan besar, dan berhenti di beberapa titik yang katanya penting. Tapi dari semua lokasi yang kami datangi, hanya satu yang membuat saya benar-benar berhenti lama. Bukan karena pemandangannya yang luar biasa, melainkan karena suasananya yang tidak biasa Bunker Kaliadem.

Dari luar, bunker ini seperti bangunan biasa. Setengah lingkaran beton yang setengah terkubur di dalam tanah, berdiri diam di tengah hamparan batu vulkanik. Beberapa pengunjung datang, berfoto, tertawa, lalu pergi lagi. Tapi saat saya perlahan mendekat, ada satu perasaan yang tidak bisa saya jelaskan. Seolah tempat ini menyimpan sesuatu yang tidak terlihat, tapi terasa. Diam, tapi berbicara dalam sunyi.

Seorang pemandu lokal bercerita singkat hanya beberapa kalimat tentang tragedi yang terjadi di sini. Pada tahun 2006, dua relawan meninggal dunia saat berlindung di dalam bunker ini. Wedhus gembel atau awan panas dari letusan Merapi datang terlalu cepat. Bunker yang dirancang sebagai tempat perlindungan justru menjadi tempat terakhir bagi mereka. Ruang yang harusnya menyelamatkan, malah jadi saksi bisu dari batas kemampuan manusia.

Sejak cerita itu selesai disampaikan, saya tidak bisa memandang bunker ini dengan cara yang sama lagi. Apalagi saat akhirnya saya memberanikan diri masuk ke dalamnya. Di dalam, ruangannya sempit, dingin, dan sunyi. Hanya ada satu lorong melengkung pendek, dengan dinding beton yang terasa sangat dekat. Saya berdiri beberapa detik, menatap ke dalam kegelapan di ujung lorong, dan rasanya seperti sedang menatap masa lalu yang tidak pernah benar-benar hilang.

Tidak ada yang muncul, tidak ada yang aneh. Tapi rasa sesak itu nyata. Bukan karena udara, tapi karena cerita. Rasanya seperti menyentuh sisa-sisa keheningan dari orang-orang yang pernah mempercayai tempat ini sebagai penyelamat mereka.

Saat keluar, saya tak langsung kembali ke jeep. Saya duduk di batu besar tak jauh dari pintu masuk bunker dan memperhatikan pengunjung lain yang datang. Sebagian hanya masuk sebentar, sebagian bercanda, dan sebagian memotret dengan gaya seperti sedang di lokasi film petualangan. Tidak ada yang salah memang, ini tempat wisata. Tapi saya tak bisa menahan diri untuk merasa bahwa bunker ini lebih dari sekadar latar foto. Ia adalah pengingat. Tentang betapa kecilnya manusia di hadapan alam. Tentang bagaimana teknologi kadang tak bisa berbuat apa-apa saat alam memilih untuk bergerak.

Yang membuat saya tambah penasaran adalah cerita dari warga sekitar. Mereka menyebutkan bahwa Gunung Merapi bukan hanya sebuah gunung, tapi tempat yang punya "isi". Merapi dalam budaya Jawa adalah gunung yang hidup. Ada kepercayaan, bahwa setiap sudutnya dijaga. Maka tak heran jika sebelum masuk ke kawasan Merapi, banyak yang mengingatkan untuk tidak bicara sembarangan, tidak mengambil batu, pasir, atau benda apapun dari area ini. Bukan sekadar larangan, tapi bentuk rasa hormat terhadap sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Saya pun mulai bertanya pada sopir jeep kami masih muda, tapi wajahnya tenang dan tutur katanya pelan. Ia membenarkan bahwa beberapa pengunjung pernah merasa pusing atau mual saat berada di bunker. Bahkan, katanya, pernah ada yang tiba-tiba menangis begitu masuk. Ia tidak bisa memastikan alasannya, tapi ia percaya bahwa tempat ini memang bukan tempat sembarangan. "Nggak semua orang cocok, Mas. Kadang yang masuk cuma bawa niat foto-foto, pulangnya malah bingung sendiri," katanya dengan senyum kecil.

Saya terdiam cukup lama setelah mendengar itu. Bukan karena takut, tapi karena merasa tempat ini mengajarkan hal yang sederhana tapi sering kita lupakan: bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan. Dan tidak semua tempat bisa disikapi dengan cara yang sama. Ada ruang-ruang yang butuh kita perlakukan dengan hormat, meskipun ia diam. Meskipun ia sudah tidak dipakai, tidak dijaga, atau bahkan dilupakan. Karena kadang, ruang-ruang itu menyimpan kisah yang lebih besar dari sekadar bentuk fisiknya.

Bunker Kaliadem adalah salah satunya. Ia bukan hanya bangunan sisa letusan Merapi. Ia adalah ruang yang pernah dipercaya bisa menyelamatkan. Ia juga ruang yang mengingatkan, bahwa di tengah usaha manusia untuk bertahan, ada kenyataan bahwa kita tidak selalu bisa menang. Dan mungkin dari situ, muncul berbagai cerita mistis, spiritual, simbolikyang tak semuanya bisa dibuktikan, tapi tetap hidup dalam ingatan kolektif warga sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun