Mohon tunggu...
Najwa Nabillahasna
Najwa Nabillahasna Mohon Tunggu... Universitas Sebelas Maret

Saya memiliki hobi berolahraga dan membaca buku fiksi. Saya mempunyai kepribadian yang senang bersosiali dengan orang lain bahkan orang baru.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menyelamatkan Budaya Membaca di Tengah Banjir Informasi Instan

16 Oktober 2025   14:43 Diperbarui: 16 Oktober 2025   14:43 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di era digital seperti sekarang, manusia hidup dalam arus informasi yang deras dan cepat. Hanya dengan sekali sentuh, ribuan berita, video, dan konten singkat bisa muncul di layar gawai. Namun, di balik kemudahan itu, ada hal penting yang mulai tergerus: budaya membaca. Aktivitas membaca yang dulu menjadi bagian dari kebiasaan belajar dan berpikir mendalam, kini sering tergantikan oleh kebiasaan “scrolling” tanpa makna.
Budaya membaca bukan sekadar kemampuan mengeja kata, tetapi kemampuan memahami, merenungkan, dan mengaitkan informasi menjadi pengetahuan. Sayangnya, masyarakat kini lebih terbiasa dengan bacaan instan seperti caption, headline, atau video berdurasi singkat. Padahal, dari membaca buku dan teks panjang, seseorang belajar untuk berpikir kritis, memperkaya kosa kata, serta memperluas wawasan. Tanpa kebiasaan itu, generasi muda berisiko tumbuh dengan kemampuan berpikir dangkal dan kesulitan memahami konteks secara mendalam.
Penyebab merosotnya minat baca bukan semata karena malas, melainkan karena perubahan gaya hidup. Teknologi menawarkan kecepatan dan hiburan instan yang membuat membaca tampak membosankan. Di sisi lain, lingkungan pendidikan juga belum sepenuhnya berhasil menanamkan kebiasaan membaca sebagai kebutuhan, bukan kewajiban. Perpustakaan sering sepi, buku dianggap tugas sekolah, bukan sumber inspirasi.
Untuk menyelamatkan budaya membaca, dibutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai pihak. Sekolah perlu menciptakan suasana literasi yang hidup, bukan hanya dengan lomba membaca, tetapi juga dengan ruang diskusi dan kegiatan menulis yang mendorong siswa berpikir kritis. Keluarga pun memiliki peran penting: menghadirkan buku di rumah, membacakan cerita untuk anak, dan menjadi contoh pembaca aktif. Media sosial juga bisa menjadi alat promosi literasi dengan membagikan ulasan buku atau kutipan inspiratif, bukan hanya hiburan semata.
Menyelamatkan budaya membaca berarti menyelamatkan cara berpikir bangsa. Jika generasi muda kehilangan minat untuk membaca, mereka juga akan kehilangan kemampuan untuk memahami dunia dengan kedalaman. Maka, di tengah banjir informasi instan, mari belajar menahan diri sejenak menutup layar, membuka buku, dan kembali menikmati keindahan membaca.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun