Mohon tunggu...
Najmie Zulfikar
Najmie Zulfikar Mohon Tunggu... Administrasi - Putra : Hamas-ruchan

Pe[ngen]nulis | Konten Kreator YouTube | Channel : James Kalica

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kecerdikan Masyarakat Semarang dalam Memajukan Kebudayaan Lokal

14 Maret 2019   16:07 Diperbarui: 15 Maret 2019   12:47 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Instagram Semarang Nite Carnival/ Defile Lampion

Menjelang hari jadi Kota Semarang tak pernah lepas dari berbagai macam seremoni baik berupa acara kedinasan maupun hiburan kepada masyarakat. Berbagai macam hiburan wajib dihadirkan sebagai kado ulang tahun untuk kota yang berjuluk kota lumpia tersebut. Salah satunya Semarang Night Carnival.

Event besar ini selalu disuguhkan kepada masyarakat setiap tahunnya. Sekaligus wujud Pemkot Semarang dan masyarakat dalam melestarikan kebudayaan lokal setempat. Tak heran jika SNC (Semarang Night Carnival) selalu ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat.

Bagi sebagian masyarakat yang belum mengenal SNC itu seperti apa dan bagaimana? Tidak perlu khawatir, karna akan dipaparkan oleh penulis secara garis besarnya.

SNC (Semarang Night Carnival) merupakan event carnival yang mengusung konsep budaya yang dikemas dalam bentuk kostum dan di pentaskan pada malam hari. Jika di Jember ada Jember Fashion Carnival, di Solo ada Solo Batik Carnival, dan yang pasti di Semarang ada Semarang Night Carnival. Gambarannya hampir sama dengan carnival-carnival yang ada di masing-masing daerah. Namun yang membedakannya seperti tema, bahan kostum dan waktu pelaksanaannya.

Ada yang sangat unik dalam setiap pelaksanaan event besar ini. Mengapa demikian?

Setiap pelaksanaanya dari tahun ke tahun selalu mengusung tema yang berbeda. Contohnya pada SNC tahun 2016. Pada tahun tersebut mengusung tema "Fantasi Warak Ngendog". Tentu, semua warga Semarang mengenali hewan mitologi tersebut.

Hewan mitologi ini merupakan simbol tiga etnis yang selalu melekat di kota yang berada di pesisir Pulau Jawa tersebut. Akulturasi budaya Jawa, Arab, dan China direpresentasikan dalam Warak Ngendog. Secara historis warak ngendog mempunyai makna yang mendalam.

Warak berasal dari bahasa Arab "waro'a" yang berarti manusia harus menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan yang tidak baik, salah satunya perbuatan bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari hari melalui amalan puasa. Karena kalau tindakan ini kita lakukan maka akan bermanfaat bagi diri kita maupun masyarakat pada umumnya dan kita akan menerima pahalanya. 

Pahala dari perbuatan baik kita ini disimbolkan dengan telur atau bertelur dalam bahasa Jawa "Ngendog" maka jadilah Warak Ngendog (sumber : myimage.id).

Warak ngendog terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama berbentuk kepala naga yang disimbolkan sebagai etnis Tionghoa. Bagian yang kedua berbentuk tubuh yang menyerupai unta. Bagian ini disimbolkan sebagai etnis Arab. Kemudian bagian yang terakhir adalah empat kaki kambing. Bagian ini merupakan representasi dari etnis Jawa.

Fantasi Warak Ngendog yang berhasil dijadikan kostum menghasilkan lima defile. Defile merah (lidah), defile hijau (gigi), defile biru (harmoni/badan utuh), defile kuning (sisik), dan defile ungu (tanduk). Kelima defile ini menggambarkan ikon dari masing-masing performer carnival.

Sumber : Instagram Svarnadhipa Carnival/ Defile Harmoni Warak
Sumber : Instagram Svarnadhipa Carnival/ Defile Harmoni Warak
Keberadaan masyarakat Semarang tak dipungkiri terdiri dari berbagai macam etnis. Masyarakat yang hiterogen tak menjadi penghalang untuk bisa hidup secara berdampingan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa kebhinekaan dapat terbingkai dalam persatuan yang terakomodir dalam rumah kedamaian yaitu Kota Semarang.

Keberagaman etnis dari masing-masing memunculkan budaya baru. Salah satunya etnis Tionghoa terkenal akan Barongsai, Klenteng, dan juga lampionnya. Hal ini memicu masyarakat yang dijembatani oleh Disbudpar Kota Semarang, dalam memunculkan tema baru untuk melanjutkan event besar SNC di tahun selanjutnya. 

Perpaduan kearifan lokal berhasil mengusung tema "Paras Semarang" dalam pagelaran SNC 2017.

Tema ini berhasil membentuk empat defile yang mencerminkan kearifan lokal kota lumpia itu. Defile pertama adalah burung kuntul (blekok). Burung ini masih eksis keberadaannya. 

Jika kita melewati daerah Jl. Raya Srondol-Banyumanik dekat Kodam IV Diponegoro masih sering dijumpai burung kuntul yang berada di pepohanan. Burung ini sekaligus sebagai hewan endemik yang berada di kota Semarang.

Defile yang kedua merupakan bunga sepatu. Bunga sepatu sebagai salah satu tanaman yang masih banyak dijumpai disini. Keberadaannya sangat menjamur di pekarangan. Dan sekaligus menjadi ciri khas bunga yang ada di kota Semarang.

Selain itu juga ada defile lampion. Keberadaan klenteng terbesar di Semarang tak terlepas dari Klenteng Sam Poo Kong yang ditengarai menjadi lahirnya defile ini. Sekaligus mencerminkan kebudayaan Tionghoa untuk dipromosikan.

Kemudian yang terakhir adalah defile kuliner. Rasa-rasanya setiap plesir di kota Semarang tentu sudah hafal betul akan kuliner disini. Ya betul sekali, kuliner seperti lumpia, bandeng, dan wingko banyak dijumpai di pusat oleh-oleh.

Tak lengkap rasanya jika berkunjung ke Semarang tanpa membeli oleh-oleh khas tersebut. Dengan demikian aneka kuliner tersebut dapat dikombinasikan dalam kostum carnival dan terbentuklah defile kuliner.

Melihat dari keempat defile tersebut menggambarkan Paras (wajah) Semarang yang sangat kaya akan kearifan lokal dan dapat dikemas sebagai sebuah pertunjukan budaya besar yang dapat mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Tentu hal ini akan memajukan bidang perekonomian dan mempromosikan pariwisata dari kota Atlas tersebut.

Pengaruh tantangan kebudayaan asing yang begitu mudahnya keluar masuk. Tentu menjadi tantangan dan ancaman bagi kebudayaan lokal. Mengapa ini sangat mengkhawatirkan?

Jika masyarakat kita sudah mulai enggan untuk mencintai dan melestarikan budaya sendiri, tentu budaya asing akan mudah diterima keberadaannya. Dan akan menggantikan keberadaan budaya sendiri. Padahal bangsa ini dianugerahi segelimang budaya yang sangat kaya sekali. Bahkan negara-negara lain iri dengan kebudayaan yang kita miliki.

Pengaruh kemajuan digital ditengarai menjadi dampak negatif dalam menghantarkan kebudayan. Disamping itu pengaruhnya juga dapat membantu mempromosikan kebudayaan. Rotasi zaman memaksa masyarakat untuk mengubah perilaku dan menghasilkan budaya baru.

Disaat generasi milenial sangat menggandrungi K-Pop dan artis-artis Korea. Yang mana juga mengusung misi kebudayaan dari negara gingseng tersebut. Tentu hal ini semestinya dapat disikapi dengan baik dan dimanfaatkan untuk mendongkrak kebudayaan lokal.

Seperti yang dilakukan oleh Disbudpar Kota Semarang dalam pagelaran SNC 2018. Tema yang diusung pada tahun lalu yaitu "Kemilau Semarang". Dengan memunculkan empat defile yang ada. Defile Art Deco (Bangunan Bersejarah Lawang Sewu), Defile Asem Arang, Defile Butterfly (kupu-kupu), dan Defile Sea (laut) menjadi ikon dalam pagelaran budaya itu.

Sumber : Instagram Semarang Nite Carnival/ Defile Art Deco
Sumber : Instagram Semarang Nite Carnival/ Defile Art Deco
Selain menampilkan kebudayaan lokal dan nusantara, dalam event ini juga berkolaborasi dengan SIFAF (Semarang International Folk Arts Festival). Dalam event ini mendatangkan pula kebudayaan asing dari Korea Selatan, Taiwan, Grisadha, dan Chakil Squad yang dipentaskan dalam serangkaian acara Semarang Night Carnival.

Kolaborasi antara kebudayan lokal dan asing ditambah kebudayaan dari Korea terbukti menjadi magnet untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Rute jalan sepanjang pagelaran carnival terpenuhi oleh ribuan pengunjung. 

Tidak hanya generasi milenial, anak-anak maupun orang tua semua rela berdesak-desakan untuk melihat event yang hanya diadakan satu tahun sekali ini.

Tak banyak yang tahu berapa persen total sumbangan dari destinasi budaya dalam pariwisata ini jika diakumulasikan. Namun jika dicermati dari kunjungan wisatawan yang menginap di hotel-hotel untuk menyaksikan pagelaran SNC, tidak pernah sepi dari tamu. 

Hampir semua hotel didaerah kota penuh dan tidak tersedia kamar kosong. Belum lagi ditambah jasa transportasi, kuliner dan lainnya. Yang pasti pagelaran budaya ini menimbulkan multi player effect kepada seluruh elemen masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun