Krisna menunjukkan bahwa insentif tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi juga mencakup dukungan untuk pendidikan lanjutan, seperti beasiswa pelatihan. Dalam kaitannya dengan kebijakan organisasi,(Krisna 2024) Sayuti menekankan pentingnya kebijakan berbasis nilai-nilai agama untuk menciptakan suasana kerja yang lebih nyaman. Kebijakan ini mencakup fleksibilitas kerja, keterbukaan manajemen, dan pengakuan atas kontribusi guru sebagai teladan moral di sekolah.(SAYUTI 2017)
Faktor motivasi memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan kinerja guru. Penelitian oleh Mahfud menemukan bahwa pemberian penghargaan atas inovasi dalam metode pembelajaran agama meningkatkan rasa percaya diri dan rasa bangga guru PAI. Pengakuan ini juga memperkuat hubungan emosional guru dengan pekerjaannya.(Mahfud 2020) Selain itu, pelatihan berbasis moral dan spiritual, sebagaimana yang diuraikan oleh Shak et al. memberikan guru kesempatan untuk memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka. Pelatihan semacam ini tidak hanya meningkatkan kompetensi akademik, tetapi juga mendukung peran guru sebagai pendidik yang mampu menanamkan nilai-nilai spiritual pada siswa. Dalam hal tanggung jawab, pemberian peran tambahan seperti menjadi mentor bagi guru lain atau pemimpin dalam kegiatan keagamaan sekolah juga meningkatkan rasa dihargai di kalangan guru. Hal ini selaras dengan temuan Anggraini yang menunjukkan bahwa tanggung jawab tambahan dapat meningkatkan keterlibatan guru dalam pembelajaran.
Kombinasi antara faktor pemeliharaan dan motivasi memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan motivasi kerja guru PAI. Misalnya, penelitian oleh Krisna (Krisna 2024) menunjukkan bahwa guru yang bekerja dalam lingkungan dengan fasilitas memadai dan menerima pengakuan atas prestasi mereka memiliki motivasi kerja yang lebih tinggi. Selain itu, penelitian oleh Sayuti (SAYUTI 2017) menegaskan bahwa penerapan nilai-nilai agama dalam sistem manajemen sekolah menciptakan harmoni antara tujuan profesional dan spiritual guru PAI, yang pada akhirnya memperkuat motivasi mereka. Dengan kombinasi yang tepat dari kedua faktor tersebut, guru PAI dapat bekerja dalam suasana yang mendukung, baik secara emosional maupun profesional.
Berdasarkan temuan ini, motivasi kerja guru PAI merupakan hasil dari interaksi antara faktor pemeliharaan dan motivasi. Reformasi kebijakan pendidikan yang memastikan penghargaan finansial dan nonfinansial diberikan secara adil dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Peningkatan fasilitas kerja, termasuk ruang kelas yang memadai, sumber daya pengajaran yang cukup, dan akses terhadap teknologi untuk mendukung pembelajaran agama, juga sangat diperlukan. Selain itu, pelatihan berkelanjutan yang tidak hanya berfokus pada pengembangan profesional tetapi juga pada refleksi spiritual dapat memberikan manfaat jangka panjang. Dengan menerapkan pendekatan ini, institusi pendidikan dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan profesional guru PAI sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran agama di sekolah.
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) menghadapi berbagai tantangan yang mempengaruhi motivasi kerja mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama di sekolah. Penelitian menunjukkan bahwa keterbatasan fasilitas masih menjadi kendala utama. Banyak guru PAI bekerja di lingkungan yang tidak memadai, seperti kurangnya akses ke teknologi pembelajaran digital dan ruang kelas yang mendukung. Kurniawan dan Iklimatus Sufiyah mencatat bahwa fasilitas minim seringkali menghambat proses pembelajaran yang interaktif dan efektif, sehingga guru kesulitan memenuhi kebutuhan siswa di era digital.
Di sisi lain, kurangnya pengakuan terhadap peran guru PAI juga menjadi tantangan yang signifikan. Hanum dan Arief menunjukkan bahwa banyak guru merasa kontribusi mereka tidak dihargai, baik secara finansial maupun moral. Ketidakpuasan ini sering kali dipicu oleh kebijakan insentif yang dianggap tidak adil. Tanpa penghargaan yang memadai, semangat kerja guru PAI cenderung menurun, sehingga berdampak pada kualitas pembelajaran. Selain itu, Nopriyani menekankan bahwa dukungan profesional berupa pelatihan pengembangan karier masih kurang optimal, padahal kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi guru sangat mendesak.
Dalam konteks era digital, banyak guru PAI menghadapi kesulitan beradaptasi dengan tuntutan pembelajaran berbasis teknologi. Literasi digital yang rendah menjadi hambatan utama dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam proses pembelajaran. Lestari mencatat bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan kapasitas guru melalui pelatihan, waktu dan sumber daya yang tersedia sering kali tidak mencukupi. Guru juga dihadapkan pada tantangan untuk terus relevan dalam menciptakan materi pembelajaran yang menarik bagi siswa yang telah akrab dengan teknologi digital.(Sri Lestari 2024)
Rendahnya motivasi siswa terhadap pembelajaran agama menjadi tantangan lain yang sering dihadapi guru PAI. Firdaus menunjukkan bahwa banyak siswa merasa pelajaran agama kurang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini menciptakan hambatan bagi guru untuk membangun keterlibatan siswa selama proses pembelajaran. Sebagai respons, beberapa guru mencoba metode diskusi interaktif atau pendekatan berbasis proyek, tetapi implementasinya memerlukan dukungan tambahan dalam bentuk pelatihan dan waktu yang cukup untuk persiapan.(Firdaus 2024)
Tekanan beban kerja juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi motivasi guru PAI. Prayogi mencatat bahwa banyak guru tidak hanya mengajar tetapi juga harus menyelesaikan tugas administratif yang cukup banyak. Akibatnya, waktu untuk mempersiapkan materi pembelajaran menjadi berkurang, sehingga memengaruhi kualitas pembelajaran secara keseluruhan. Hal ini mencerminkan perlunya manajemen kerja yang lebih baik untuk mengurangi beban administratif guru.(Prayogi 2024)
Kesenjangan kompetensi antara kebutuhan sekolah dan kapasitas guru PAI juga menjadi tantangan signifikan. Buaja menemukan bahwa ekspektasi sekolah terhadap inovasi dalam kurikulum sering kali tidak diimbangi dengan pelatihan yang memadai bagi guru. Kesenjangan ini dapat menciptakan tekanan tambahan bagi guru PAI, yang pada akhirnya memengaruhi motivasi mereka untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.(Buaja 2024)
Untuk mengatasi tantangan ini, dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan kebijakan sekolah sangat diperlukan. Salah satu solusi adalah meningkatkan akses terhadap fasilitas pembelajaran modern, seperti teknologi pendidikan, ruang kelas interaktif, dan pelatihan profesional yang relevan. Selain itu, pengakuan terhadap peran guru dapat ditingkatkan melalui kebijakan insentif yang adil, baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial. Melibatkan guru PAI dalam perencanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan juga dapat memperkuat rasa memiliki dan komitmen terhadap institusi tempat mereka bekerja.