Pendidikan sering disebut sebagai kunci utama untuk memutus rantai kemiskinan. Namun, di beberapa negara termasuk Indonesia, akses terhadap pendidikan ternyata masih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Fenomena ini menciptakan jurang ketimpangan yang mendalam dalam dunia pendidikan : dimana anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi ke bawah sulit untuk mengenyam pendidikan berkualitas, sementara tanpa pemdidikan yang memadai mereka akan kesulitan keluar dari jerat kemiskinan. Kesenjangan tersebut bukan hanya mengenai persoalan moral, tetapi juga ancaman yang serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan masa depan bangsa.
      Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata -- rata lama sekolah di Indonesia pada tahun 2024 masih berada di kisaran 8,9 tahun, atau setara dengan kelas 2 SMP. Angka ini jelas menggambarkan bahwasannya masih banyak anak di Indonesia yang tidak melanjutkan pendidikan hingga jenjang SMA, apalagi perguruan tinggi. Jika ditelusuri lebih jauh, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, terutama di daerah pedesaan dan wilayah terluar.
      Ketidaksetaraan status ekonomi keluarga dapat memengaruhi akses dan kualitas pendidikan anak melalui berbagai cara. Pertama, akses terhadap pendidikan yang berkualitas sangat terbatas bagi keluarga dengan penghasilan rendah. Meski terdapat sekolah negeri yang gratis, tetapi biaya tidak langsung seperti seragam, buku, transportasi, iuran kegiatan, hingga unag saku tetap menjadi beban. Hal ini membuat orang tua harus memilih antara kebutuhan dasar dan kelanjutan sekolah anak. Pada akhirnya, tidak sedikit anak yang memilih untuk putus sekolah atau hanya mampu menempuh pendidikan dengan kualitas seadanya.
      Kedua, kesenjangan fasilitas dan sumber daya penunjang pendidikan turut memperlebar jurang. Keluarga dengan dengan berpenghasilan cukup dan tinggi dapat menyediakan lingkungan belajar yang memadai di rumah, seperti akses internet, komputer atau alat elektronik, buku penunjang, hingga les tambahan. Sebaliknya, anak -- anak dari kalangan keluarga kurang mampu harus belajar dalam keterbatasan, tanpa dukungan teknologi maupun suasana belajar yang kondusif. Kondisi tersebut jelas dapat memengaruhi efektivitas proses belajar mereka.
      Ketiga, ketidaksetaraan kualitas sekolah juga dapat memperburuk keadaan. Sekolah-sekolah di perkotaan atau daerah yang makmur umumnya memiliki sarana prasarana yang lengkap, seperti laboratoriun dan perpustakaan modern, serta mampu merekrut guru -- guru yang berkualitas. Sementara itu, sekolah di daerah terpencil sering kekurangan fasilitas dan menghadapi keterbatasan tenaga pengajar. Akibatnya, terjadi kesenjangan kompetensi yang signifakan antara lulusan di wilayah berbeda tersebut.
      Hal tersebut dapat menimbulkan dampak yang paling menyakitkan adalah terbunuhnya potensi dan terkuburnya mimpi anak -- anak. Bagi anak -- anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan menuju cita -- cita sering kali runtuh sebelum mereka sempat melangkah. Banyak siswa cerdas terpaksa berhenti sekolah bukan karena kurang dalam kemampuan akademik, tetapi karena kurang dalam kemampuan finansial. Banyak dari mereka akhirnya harus membantu menopang ekonomi keluarga dengan bekerja atau bahkan menggatikan peran orang tua dalam mencari nafkah, sehingga impian -- impian mereka untuk menjadi dokter, insyinyur, atau ilmuawan harus terkubur oleh realita.
      Selain itu, keterbatasan pendidikan juga dapat mempersempit horizon masa depan anak. Lingkungan yang hanya memperlihatkan pekerjaan kasar dengan upah rendah membuat mereka menetapkan ambisi dengan sesuai kondisi ekonomi yang membatasi. Lebih jauh lagi, anak -- anak yang terhenti pendidikannya dapat kehilangan modal sosial berupa jaringan dan koneksi yang penting untuk kemajuan karier mereka. Tanpa itu, peluang mereka untuk keluar dari jerat kemiskinan semakin kecil.
      Situasi ini membuat kemiskinan melahirkan pendidikan yang berkualitas rendah, pendidikan yang terbatas dapat menghasilkan kesempatan kerja yang sempit, dan pada akhirmya kemiskinan diwariskan ke generasi berikutnya. Untuk memutus rantai tersebut, diperlukan kontribusi dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Pemerataan kualitas sekolah harus diutamakan,  dengan meningkatkan infrastruktur dan fasilitas, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Pemerintah juga perlu memastikan bahwa bantuan biaya pendidikan merata dan tepat sasaran kepada keluarga yang memang betul -- betul membutuhkan. Di samping itu, dukungan psikososial juga penting agar anak -- anak dari keluarga miskin tetap memiliki motivasi dan semangat belajar.
      Pendidikan yang adil dan merata merupakan fondasi bagi masyarakat yang sejahtera. Selama faktor ekonomi masih menjadi penentu untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, cita -- cita bangsa untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul akan sulit tercapai. Maka dari itu, keadilan ekonomi harus berjalan beriringan dengan keadilan pendidikan, agar setiap anak bangsa memiliki kesempatan yang sama untuk meraih masa depan dan mewujudkan mimpinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI