Laut Bercerita (2017) karya Leila S. Chudori bukanlah novel biasa. Ia adalah suara dari masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang. Novel ini merekonstruksi bagian kelam dari sejarah Indonesia—penculikan aktivis mahasiswa pada akhir Orde Baru—dengan pendekatan sastra yang menggugah. Sebagai mahasiswa yang hidup di era demokrasi digital, membaca novel ini seperti menampar kesadaran saya: bahwa kemerdekaan berpikir dan bersuara yang kini kita nikmati dibayar mahal oleh generasi sebelumnya.
Leila, yang juga jurnalis senior Tempo, menyusun kisah ini dengan riset yang dalam dan bahasa yang sangat hidup. Melalui tokoh utama, Biru Laut, kita diajak menyelami dunia aktivisme kampus tahun 90-an: penuh semangat, idealisme, diskusi larut malam, dan tentu saja bayang-bayang bahaya dari negara yang antikritik.
Membaca Laut Bercerita bukan sekadar kegiatan literer, melainkan pengalaman batin. Saya merasa berada di sana—di tengah diskusi mahasiswa tentang ketidakadilan, menyusup ke perkampungan warga untuk advokasi, hingga berada dalam ruang interogasi yang gelap dan dingin. Laut, tokoh utama, bukan hanya tokoh fiktif. Ia mewakili puluhan, bahkan ratusan mahasiswa yang benar-benar hilang dan tak pernah kembali.
Yang paling menyentuh hati adalah ketika Laut tetap menulis catatan harian dari balik ruang penyiksaan. Ia menulis karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tetap waras. Dalam kondisi seperti itu, ia masih berpikir tentang bagaimana kebenaran harus terus dicatat, agar suatu hari nanti seseorang membaca, dan tahu bahwa mereka pernah ada.
Secara struktural, novel ini menggunakan dua bagian besar yaitu perspektif Biru Laut dan perspektif adiknya, Asmara Jati. Ini adalah teknik naratif yang cerdas—karena pembaca tidak hanya mendapat gambaran dari sisi “yang hilang”, tetapi juga dari sisi “yang ditinggalkan”. Teknik ini memperkuat efek emosional dan membangun gambaran utuh tentang dampak tragedi pelanggaran HAM, baik terhadap korban maupun keluarganya.
Dalam kerangka sastra, Laut Bercerita termasuk dalam genre realisme historis dan dokumenter sastra. Leila menggabungkan fakta sejarah, testimoni para penyintas, dan imajinasi sastra menjadi satu kesatuan yang kokoh. Karya ini bisa sejajar dengan The Kite Runner karya Khaled Hosseini dalam hal menyampaikan trauma kolektif lewat narasi personal.
Laut Bercerita tidak menggurui, tetapi mengajak berpikir. Leila berhasil menciptakan tokoh-tokoh yang manusiawi: idealis, penuh semangat, tapi juga rapuh dan ragu. Kita melihat Laut sebagai anak muda yang bercita-cita tinggi, jatuh cinta, takut gagal, dan pada akhirnya harus memilih antara kenyamanan pribadi atau perjuangan kolektif.
Yang menarik adalah simbolisme “laut” itu sendiri. Di akhir cerita, ketika keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan melakukan upacara di tepi pantai, laut menjadi saksi bisu dari apa yang telah terjadi—menyimpan jejak, sekaligus menghapusnya. Dalam konteks ini, laut adalah ruang sunyi yang menyimpan kisah, tapi juga tempat kehilangan.
Membaca Laut Bercerita memberikan saya perasaan campur aduk yaitu marah, sedih, bangga, dan terinspirasi. Saya marah karena sejarah ini disembunyikan begitu lama. Saya sedih membayangkan keluarga korban yang hanya bisa menabur bunga tanpa tahu pasti di mana jasad anak atau saudaranya. Tapi saya juga bangga dan terinspirasi oleh semangat juang generasi 1998—generasi yang percaya bahwa dunia bisa berubah jika kita berani bersuara.
Sebagai mahasiswa hari ini, saya merasa punya tanggung jawab untuk tidak melupakan, dan untuk menjaga kebebasan berpikir serta menyuarakan kebenaran. Karena seperti kata Leila di bagian akhir novelnya, “Yang paling menyakitkan bukan kematian, melainkan dilupakan.”
Laut Bercerita adalah karya yang tidak hanya layak dibaca, tetapi juga direnungkan. Ia bukan hanya novel, melainkan arsip emosi dan kebenaran yang tak ditulis di buku sejarah resmi. Lewat fiksinya, Leila menghidupkan kembali suara-suara yang telah dibungkam. Bagi mahasiswa, ini adalah bacaan wajib. Bukan karena harus, tapi karena penting. Kita perlu tahu bahwa kemerdekaan berbicara, berdiskusi, dan berorganisasi bukanlah hal yang datang gratis. Ada darah, luka, dan kehilangan yang menyertainya. Dan selama kita terus membaca, menulis, dan mengingat, Laut akan terus bercerita.