Mohon tunggu...
Naifah Arsa Ardiara
Naifah Arsa Ardiara Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Garuda Indonesia: Bangkit dari Krisis, Menyusun Ulang Masa Depan

25 Juni 2025   09:24 Diperbarui: 25 Juni 2025   10:31 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2022, PT Garuda Indonesia (Persero) berada di titik paling genting dalam sejarah perjalanannya. Maskapai milik negara ini menghadapi ancaman pailit setelah terjerat utang yang sangat besar dan mengalami penurunan pendapatan drastis akibat pandemi COVID-19. Saat itu, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, menyampaikan bahwa nasib perusahaan bergantung pada keputusan para kreditur.

“Kami akan fight. Sebab di PKPU ada proses proposal. Kalau mayoritas kreditur setuju, kami tidak akan pailit. Tapi kalau banyak yang tidak setuju, kami pailit.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Garuda benar-benar berada di ujung tanduk. Namun, keputusan mayoritas kreditur yang menyetujui restrukturisasi membuat Garuda lolos dari jerat kepailitan dan mendapat kesempatan kedua untuk kembali memperbaiki diri.

Garuda Indonesia didirikan setelah Indonesia merdeka. Awalnya, pada tahun 1949, pemerintah Indonesia mengambil alih aset maskapai milik Belanda dan membentuk Garuda Indonesian Airways (GIA). Nama “Garuda” dipilih langsung oleh Presiden Soekarno. Sejak saat itu, Garuda menjadi simbol kebanggaan nasional dan terus berkembang menjadi salah satu maskapai terkemuka di Asia.

Garuda juga dikenal karena pelayanannya yang mengedepankan nilai budaya Indonesia. Maskapai ini sempat melayani puluhan rute domestik dan internasional, dengan armada yang besar dan layanan penuh.

Pandemi COVID-19 berdampak besar pada sektor penerbangan, termasuk Garuda. Pembatasan perjalanan membuat pendapatan Garuda turun drastis. Sementara itu, biaya operasional tetap tinggi. Beban utang pun terus meningkat hingga mencapai Rp142 triliun.

Masalah internal turut memperparah keadaan. Struktur organisasi yang birokratis, budaya kerja yang kaku, serta adanya kasus korupsi membuat Garuda semakin sulit untuk bertahan. Kepercayaan publik menurun, dan Garuda memasuki masa krisis yang sangat dalam.

Untuk menyelamatkan diri, Garuda mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di pengadilan. Dari sinilah proses restrukturisasi mulai dilakukan secara menyeluruh.

Setelah PKPU disetujui, Garuda mulai melakukan berbagai langkah pemulihan. Salah satu langkah utama adalah restrukturisasi utang, di mana total utang dipangkas hampir setengahnya. Pemerintah juga memberikan penyertaan modal negara (PMN), dan investor seperti Trans Airways turut memberikan dukungan.

Selain restrukturisasi keuangan, Garuda melakukan transformasi digital, seperti perbaikan sistem pemesanan dan pengelolaan operasional. Armada yang terlalu besar dan boros dikurangi agar lebih efisien. Layanan pelanggan diperbarui dengan pendekatan berbasis teknologi.

Perubahan juga terjadi di dalam organisasi. Budaya kerja Garuda dirombak menjadi lebih terbuka dan responsif. Di bawah kepemimpinan Irfan Setiaputra dan dukungan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, Garuda mulai membangun budaya organisasi yang lebih profesional dan transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun