Gelombang keresahan tengah bergulir di ruang publik Indonesia. Seiring melemahnya perekonomian global dan ketidakpastian politik pasca pemilu, isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi salah satu kekhawatiran terbesar masyarakat.Â
Tidak mengherankan, jika dalam "17+8 Tuntutan Rakyat" yang belakangan ramai diperbincangkan, ada desakan kuat kepada pemerintah untuk segera mengambil langkah preventif agar pekerja---khususnya buruh kontrak---tidak menjadi korban pertama badai ekonomi.
Lantas, bagaimana sebenarnya kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini? Apakah ancaman PHK massal benar-benar nyata? Dan solusi apa yang bisa dilakukan pemerintah, pengusaha, maupun pekerja untuk menghadapinya?
Fakta Terkini tentang PHK Massal di Indonesia
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, sepanjang 2023--2024 terdapat lebih dari 150 ribu pekerja di sektor padat karya (terutama tekstil, garmen, dan alas kaki) yang kehilangan pekerjaan akibat melemahnya permintaan ekspor. Kondisi ini diperparah oleh perlambatan ekonomi Tiongkok dan Amerika Serikat yang merupakan mitra dagang utama Indonesia.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka berada di angka 5,2% atau sekitar 7,8 juta orang. Angka ini memang menurun dibanding masa pandemi, tetapi ancaman PHK di sektor manufaktur, transportasi, hingga digital economy membuat tren pengangguran bisa kembali naik jika tidak ada kebijakan yang cepat dan tepat.
Mayoritas pekerja Indonesia juga masih didominasi oleh pekerja kontrak dan informal. Data Sakernas 2024 mencatat bahwa 56% tenaga kerja berada di sektor informal tanpa jaminan kerja yang memadai. Artinya, kelompok ini adalah pihak paling rentan terhadap PHK massal.
Mengapa PHK Massal Harus Dicegah?
PHK bukan hanya persoalan individu, melainkan juga dampak sistemik yang berpengaruh ke ekonomi dan stabilitas sosial.
Meningkatkan angka kemiskinan
Setiap 1% kenaikan pengangguran dapat mendorong setidaknya 200 ribu orang jatuh ke bawah garis kemiskinan (Bappenas, 2024).
Menekan daya beli masyarakat
 PHK massal akan mengurangi konsumsi rumah tangga, padahal sektor ini menyumbang lebih dari 54% PDB Indonesia (BPS, 2024).
Memicu keresahan sosial
 Sejarah mencatat, gelombang PHK massal pada 1998 menjadi salah satu faktor yang memperparah krisis sosial-politik kala itu.