Selat Hormuz, selat sempit yang terletak antara Teluk Persia dan Teluk Oman, mendadak menjadi titik panas dunia. Dengan hanya selebar 33 km di titik tersempitnya, selat ini menjadi jalur vital bagi hampir 20% pasokan minyak global. Jika selat ini ditutup, dampaknya tidak hanya akan mengguncang kawasan Timur Tengah, tetapi juga mengguncang sendi ekonomi dan geopolitik dunia.
Ancaman Penutupan Selat Hormuz: "Titik Cekik" Dunia
Ketegangan antara Iran dan Israel, yang kian meningkat, menjadi pemicu utama kekhawatiran akan tertutupnya Selat Hormuz. Iran beberapa kali mengancam akan menutup selat ini jika merasa diserang atau diprovokasi secara strategis. Ancaman tersebut bukan isapan jempol. Pada 2011 dan 2019, Iran pernah melakukan demonstrasi militer di kawasan tersebut untuk menunjukkan kemampuannya.
Jika Selat Hormuz ditutup, berikut adalah dampak global yang tak terelakkan:
- Harga minyak mentah bisa melonjak hingga dua kali lipat, bahkan mencapai $150 per barel (menurut simulasi Brookings Institution).
- Krisis energi akan melanda negara-negara pengimpor seperti India, Jepang, Korea Selatan, dan sebagian besar negara Eropa.
- Inflasi global melonjak, terutama di negara berkembang yang bergantung pada impor BBM.
- Kekacauan logistik akan mengganggu pasokan barang strategis di jalur pelayaran internasional.
- Pasar saham global rontok, investor panik, dan terjadi pelarian modal besar-besaran.
Peran Negara-Negara Dunia: Bukan Saatnya Diam
Menghadapi potensi bencana global ini, negara-negara dunia tidak bisa sekadar menunggu. Ada beberapa langkah yang semestinya diambil bersama:
1. Diplomasi Kuat Melalui Jalur Multilateral
PBB dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara anggota G20 harus mendorong dialog terbuka antara Iran dan negara-negara di kawasan Teluk, termasuk Israel.
Langkah ini membutuhkan:
- Aktivasi kembali nuclear deal (JCPOA) yang dulu sempat menyatukan Iran dan negara-negara Barat.
- Deklarasi netralitas jalur laut internasional di bawah hukum laut internasional (UNCLOS).
2. Diversifikasi Jalur Energi
Negara-negara konsumen energi harus mengembangkan jalur alternatif. Misalnya:
- Memaksimalkan jalur pipa dari Arab Saudi ke Laut Merah (Petroline).
- Meningkatkan cadangan strategis nasional (strategic petroleum reserves).
- Investasi besar-besaran dalam energi terbarukan dan efisiensi energi.
3. Kerja Sama Maritim Global
Koalisi angkatan laut internasional bisa dibentuk untuk menjaga keamanan jalur pelayaran di kawasan tersebut. Operasi seperti ini pernah dilakukan dalam bentuk Combined Maritime Forces (CMF) yang beroperasi di Teluk Aden dan sekitarnya untuk melawan pembajakan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara besar dengan ketergantungan tinggi pada impor minyak, Indonesia tidak bisa mengabaikan isu Selat Hormuz. Meski jaraknya ribuan kilometer, dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat Indonesia.
Dampak ke Indonesia:
- Harga BBM di dalam negeri naik, bahkan bisa memicu penyesuaian subsidi energi.
- Tekanan terhadap APBN meningkat, karena subsidi energi akan membengkak.
- Inflasi melonjak, terutama pada sektor transportasi dan logistik.
Peran Strategis Indonesia:
- Diplomasi Aktif dalam Forum InternasionalÂ
- Indonesia bisa menggunakan kekuatannya di G20, OKI, dan ASEAN untuk mendorong deeskalasi ketegangan Iran-Israel dan menyerukan pembukaan jalur pelayaran global demi kepentingan bersama.
- -Diversifikasi Energi dan Transisi Hijau Momentum ini harus dijadikan peluang untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan: tenaga surya, hidro, panas bumi, dan bioenergi.
- -Perkuat Cadangan Minyak Nasional Pemerintah Indonesia perlu mengembangkan Strategic Petroleum Reserve (SPR) agar ketahanan energi meningkat jika terjadi krisis pasokan.
- -Membangun Ketahanan Energi Lokal Pemerintah dan swasta harus mendorong program energy efficiency dan konversi energi di sektor rumah tangga dan industri.