Di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit---harga kebutuhan pokok melonjak, lapangan kerja terbatas, dan daya beli menurun---fenomena belanja impulsif justru masih marak terjadi. Banyak orang tetap membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, bahkan terkadang rela berutang demi memenuhi hasrat konsumtif. Mengapa perilaku ini terus terjadi meskipun situasi keuangan sedang tidak stabil?
Dalam tulisan ini akan membahas penyebab utama belanja impulsif di masa ekonomi sulit, pengaruh psikologis dan sosial di baliknya, serta bagaimana kita bisa mengendalikan diri agar tetap bijak dalam mengelola keuangan.
Apa Itu Belanja Impulsif?
Belanja impulsif adalah tindakan membeli sesuatu secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya. Keputusan ini sering kali dipicu oleh emosi, bukan kebutuhan nyata. Contohnya, membeli sepatu karena sedang diskon, meskipun sepatu lama masih layak pakai, atau membeli makanan mahal karena sedang merasa stres.
Meskipun terlihat sepele, belanja impulsif bisa menjadi kebiasaan yang merugikan, terutama saat kondisi finansial sedang tidak mendukung.
Mengapa Belanja Impulsif Tetap Terjadi Saat Ekonomi Sulit?
1. Pelarian Emosional (Emotional Escape)
Ketika tekanan hidup meningkat---entah karena PHK, utang menumpuk, atau harga kebutuhan naik---banyak orang mencari pelarian emosional. Belanja menjadi salah satu bentuk pelampiasan yang instan dan mudah diakses. Menurut psikolog Dr. April Benson, "belanja sering digunakan untuk menenangkan emosi negatif seperti kecemasan, stres, atau kesepian."
Saat kita membeli sesuatu, otak melepaskan hormon dopamin yang memunculkan perasaan senang. Namun, efek ini hanya sementara. Setelah itu, muncul penyesalan, terutama jika pembelian tersebut mengganggu kondisi keuangan.
2. Pengaruh Media Sosial dan Iklan Digital
Algoritma media sosial semakin canggih dalam mengenali preferensi pengguna. Iklan yang muncul di feed kita sering kali sangat relevan dan menggoda. Influencer yang memamerkan produk "wajib punya" membuat kita merasa tertinggal jika tidak ikut membeli. Istilah populer seperti "FOMO" (Fear of Missing Out) sangat berperan dalam memicu pembelian impulsif.
Platform seperti TikTok dan Instagram bahkan menciptakan tren belanja seperti "haul video" yang memamerkan barang belanjaan secara masif. Ini menormalisasi konsumsi berlebih, bahkan di kalangan yang sedang kesulitan ekonomi.
3. Strategi Diskon yang Menjebak
Potongan harga, flash sale, dan gratis ongkir sering kali membuat orang berpikir mereka sedang "berhemat". Padahal, membeli barang yang tidak diperlukan tetap saja merugikan, berapa pun diskonnya. E-commerce memanfaatkan teknik scarcity (jumlah terbatas) dan urgency (waktu terbatas) untuk mendorong keputusan cepat tanpa berpikir panjang.
Menurut sebuah studi dari Journal of Consumer Research, konsumen yang berada dalam tekanan keuangan justru lebih rentan terhadap promosi semacam ini karena mereka merasa mendapat "kesempatan langka" untuk membeli murah.