Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dan Tantangan Budaya Lokal yang Terlupakan

1 Juni 2025   12:59 Diperbarui: 1 Juni 2025   12:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi banner Hari Lahir Pancasila (Foto: Freepik)

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengobrol dengan teman terkait berbagai hal yang menjadi isu terkini, dan diantaranya Ia mengeluh, terkait maraknya budaya asing yang justru menjadi haluan mayoritas anak gen z dewasa ini. Betapa ironisnya katanya, Di negeri yang katanya menjunjung tinggi Pancasila, kebudayaan asli justru perlahan-lahan kehilangan peminat dan sepi penonton---bahkan dari anak bangsanya sendiri. Saya sendiri terdiam karena pada kenyataannya memang demikian yang terjadi 

Hari ini, 1 Juni, kita kembali memperingati Hari Lahir Pancasila. Tapi mari jujur, apakah kita masih benar-benar memahami makna Pancasila di tengah zaman yang serba global dan digital ini? Apakah kita sadar bahwa identitas budaya kita pelan-pelan terkikis oleh arus homogenisasi global?

Budaya Global Menggeser Budaya Lokal

Anak-anak zaman sekarang lebih fasih menyanyikan lagu K-pop daripada lagu daerah. Mereka lebih mengenal tren dance TikTok daripada tari Saman atau Jaipong. Saya tidak anti globalisasi, tentu saja. Tapi ketika budaya luar menjadi panutan utama dan budaya lokal hanya jadi pajangan saat 17 Agustus, di situlah kita harus mulai waspada.

Fenomena ini disebut sebagai homogenisasi global---proses di mana budaya lokal mulai tergeser oleh budaya dominan dunia, terutama dari Barat dan Asia Timur. Akibatnya, bahasa daerah mulai punah, tradisi menghilang, dan cara pandang kita sebagai bangsa perlahan-lahan kehilangan arah.

UNESCO bahkan menyebut bahwa separuh bahasa di dunia bisa punah sebelum akhir abad ini. Di Indonesia sendiri, lebih dari 200 bahasa daerah sudah masuk kategori kritis. Miris? Sangat.

Pancasila: Bukan Sekadar Simbol, Tapi Pedoman Budaya

Di sinilah peran Pancasila diuji. Apakah ia hanya sekadar teks yang dibaca upacara, atau benar-benar menjadi fondasi kehidupan berbangsa?

Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", bukan berarti semua harus seragam. Justru persatuan itu dibangun dari keberagaman. Gamelan, tenun ikat, bahasa Toraja, tari Cendrawasih, wayang kulit, semuanya adalah bagian dari ke-Indonesia-an kita. Kalau satu hilang, maka jati diri kita pun berkurang.

Pancasila mengajarkan bahwa budaya bukan barang lama yang usang, tapi warisan yang harus terus hidup dan relevan. Di era global, ini berarti budaya lokal harus mampu bersaing---bukan dengan meniru, tapi dengan memperkuat akar.

Menghidupkan Budaya Lokal di Zaman Digital

Sekarang pertanyaannya: bagaimana caranya kita mempertahankan budaya lokal tanpa menolak kemajuan zaman?

Saya percaya ada tiga jalan:

1. Buat Budaya Lokal Masuk Kurikulum yang Menyenangkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun