Beberapa waktu lalu, saya sempat mengobrol dengan teman terkait berbagai hal yang menjadi isu terkini, dan diantaranya Ia mengeluh, terkait maraknya budaya asing yang justru menjadi haluan mayoritas anak gen z dewasa ini. Betapa ironisnya katanya, Di negeri yang katanya menjunjung tinggi Pancasila, kebudayaan asli justru perlahan-lahan kehilangan peminat dan sepi penonton---bahkan dari anak bangsanya sendiri. Saya sendiri terdiam karena pada kenyataannya memang demikian yang terjadiÂ
Hari ini, 1 Juni, kita kembali memperingati Hari Lahir Pancasila. Tapi mari jujur, apakah kita masih benar-benar memahami makna Pancasila di tengah zaman yang serba global dan digital ini? Apakah kita sadar bahwa identitas budaya kita pelan-pelan terkikis oleh arus homogenisasi global?
Budaya Global Menggeser Budaya Lokal
Anak-anak zaman sekarang lebih fasih menyanyikan lagu K-pop daripada lagu daerah. Mereka lebih mengenal tren dance TikTok daripada tari Saman atau Jaipong. Saya tidak anti globalisasi, tentu saja. Tapi ketika budaya luar menjadi panutan utama dan budaya lokal hanya jadi pajangan saat 17 Agustus, di situlah kita harus mulai waspada.
Fenomena ini disebut sebagai homogenisasi global---proses di mana budaya lokal mulai tergeser oleh budaya dominan dunia, terutama dari Barat dan Asia Timur. Akibatnya, bahasa daerah mulai punah, tradisi menghilang, dan cara pandang kita sebagai bangsa perlahan-lahan kehilangan arah.
UNESCO bahkan menyebut bahwa separuh bahasa di dunia bisa punah sebelum akhir abad ini. Di Indonesia sendiri, lebih dari 200 bahasa daerah sudah masuk kategori kritis. Miris? Sangat.
Pancasila: Bukan Sekadar Simbol, Tapi Pedoman Budaya
Di sinilah peran Pancasila diuji. Apakah ia hanya sekadar teks yang dibaca upacara, atau benar-benar menjadi fondasi kehidupan berbangsa?
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", bukan berarti semua harus seragam. Justru persatuan itu dibangun dari keberagaman. Gamelan, tenun ikat, bahasa Toraja, tari Cendrawasih, wayang kulit, semuanya adalah bagian dari ke-Indonesia-an kita. Kalau satu hilang, maka jati diri kita pun berkurang.
Pancasila mengajarkan bahwa budaya bukan barang lama yang usang, tapi warisan yang harus terus hidup dan relevan. Di era global, ini berarti budaya lokal harus mampu bersaing---bukan dengan meniru, tapi dengan memperkuat akar.
Menghidupkan Budaya Lokal di Zaman Digital
Sekarang pertanyaannya: bagaimana caranya kita mempertahankan budaya lokal tanpa menolak kemajuan zaman?
Saya percaya ada tiga jalan:
1. Buat Budaya Lokal Masuk Kurikulum yang Menyenangkan
Bukan sekadar teori di buku teks, tapi praktik langsung. Ajak siswa membuat konten TikTok tentang cerita rakyat, atau drama pendek berbahasa daerah. Budaya akan hidup kalau diajak bermain, bukan diceramahi.
2. Digitalisasi Tradisi
Banyak komunitas anak muda yang sekarang membuat video YouTube berisi kisah legenda daerah atau tutorial membatik. Ini keren. Pemerintah seharusnya mendukung lebih banyak inisiatif seperti ini. Kalau kita bisa menonton drama Korea dengan subtitle, kenapa tidak menonton cerita rakyat Sulawesi dalam versi animasi?
3. Dukung Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
Tenun dan batik jangan hanya dipakai saat kondangan. Jadikan itu gaya hidup. Banyak brand lokal yang sudah keren dan kekinian, tinggal didukung supaya bisa bersaing dengan merek global. Beli produk lokal berarti turut melestarikan budaya.
Jangan Jadi Tamu di Negeri Sendiri
Bayangkan, suatu hari nanti turis asing datang ke Indonesia bukan karena pantai atau hotel mewah, tapi karena kekayaan budaya kita. Mereka belajar nari di Aceh, membuat keris di Solo, dan bertutur dalam bahasa lokal. Sementara itu, generasi kita justru sibuk mengejar gaya hidup luar yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai kita.
Apakah kita akan jadi tamu di negeri sendiri?
Penutup: Pancasila Harus Dihidupkan, Bukan Dikumandangkan
Peringatan Hari Lahir Pancasila harus menjadi momentum refleksi. Kita tak butuh seremoni besar, cukup komitmen kecil: mencintai budaya sendiri, memakai produk lokal, berbicara dengan bangga tentang asal-usul kita.
Pancasila adalah jati diri yang bisa mengakar sekaligus menjulang---asalkan kita tidak malu menjadi Indonesia.
.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI