Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Karakter Bangsa, Kegagalan Struktural dan Jalan Pemulihan Moral

21 Mei 2025   14:14 Diperbarui: 21 Mei 2025   16:14 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karakter bangsa tidak lahir secara instan. Ia merupakan hasil internalisasi nilai-nilai spiritual, budaya luhur, dan norma sosial (Antara)

Di tengah euforia pembangunan fisik dan digitalisasi berbagai sektor, Indonesia diam-diam menghadapi krisis mendasar yang menggerogoti dari dalam: kemerosotan karakter bangsa. Krisis ini bukan sekadar soal perilaku individu yang menyimpang, melainkan refleksi dari kegagalan struktural dalam sistem sosial, pendidikan, dan kepemimpinan publik.

Nilai Spiritual dan Etika Kolektif sebagai Fondasi Bangsa

Karakter bangsa tidak lahir secara instan. Ia merupakan hasil internalisasi nilai-nilai spiritual, budaya luhur, dan norma sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Nilai-nilai seperti gotong royong, jujur, adil, dan saling menghargai dahulu menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.

Thomas Lickona (1991), dalam bukunya Educating for Character, menekankan bahwa karakter adalah kombinasi dari moral knowing (pengetahuan tentang nilai), moral feeling (keinginan menerapkan nilai), dan moral action (tindakan nyata berdasarkan nilai). Artinya, membentuk karakter tidak cukup hanya melalui pengetahuan, tetapi harus ada pembiasaan dan keteladanan.

Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, fondasi ini mulai rapuh. Kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai kolektif perlahan terkikis oleh pragmatisme, egoisme, dan gaya hidup instan.

Krisis Moral dan Kegagalan Struktural

Krisis karakter bangsa tidak bisa dilepaskan dari struktur sosial yang melemahkan pembangunan moral. Di tingkat elit, banyak pejabat publik yang tersandung kasus korupsi, manipulasi anggaran, dan penyalahgunaan wewenang. 

Transparency International dalam laporan Corruption Perceptions Index (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara, dengan skor yang cenderung stagnan.

Lemahnya penegakan hukum memperparah kondisi ini. Ketika pelaku pelanggaran etika tidak dihukum secara adil, maka pesan moral yang tersampaikan ke masyarakat adalah: "tidak apa-apa berbuat curang asal punya kuasa".

Di tingkat akar rumput, masyarakat pun terdampak. Fenomena intoleransi, ujaran kebencian, perundungan di sekolah, dan individualisme di ruang publik adalah contoh nyata kemerosotan nilai sosial. Ini menunjukkan bahwa karakter tidak hanya persoalan moral individu, tetapi produk dari sistem yang gagal menjalankan fungsi pembentukan nilai.

Pendidikan Karakter: Gagasan yang Belum Terimplementasi Penuh

Sektor pendidikan seharusnya menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter generasi muda. Namun, sistem pendidikan kita selama ini masih terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif dan capaian akademik.

Menurut riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (2020), pendidikan karakter di Indonesia belum terintegrasi secara sistemik dalam proses pembelajaran. Banyak sekolah menjadikan pendidikan karakter hanya sebagai formalitas, bukan sebagai bagian esensial dari pembentukan kepribadian siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun