Mohon tunggu...
Nanang A.H
Nanang A.H Mohon Tunggu... Penulis, Pewarta, Pemerhati Sosial

Penyuka Kopi Penikmat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis Gugatan Ulang Hasil PSU Tasikmalaya ke MK: Antara Hak Konstitusional dan Strategi Politik

23 April 2025   11:45 Diperbarui: 23 April 2025   11:45 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil PSU Tasikmalaya kembali akan digugat ke MK, bagaimana peluang & analisis politiknya? (Foto: Gedung MK/detik.com

Pemungutan Suara Ulang (PSU) merupakan salah satu instrumen korektif dalam proses pemilu di Indonesia. Ia dimaksudkan sebagai bentuk perbaikan atas pelanggaran prosedural atau administratif yang terbukti telah memengaruhi hasil pemungutan suara. Namun, bagaimana jika hasil PSU itu sendiri kembali dipermasalahkan? 

Apakah pasangan calon (paslon) yang kalah masih memiliki hak hukum untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Dan bagaimana kita membaca langkah semacam ini dalam kacamata politik, seperti yang sedang berkembang dalam konteks PSU di Kabupaten Tasikmalaya?

Landasan Konstitusional dan Yuridis Pengajuan Gugatan

Secara hukum, gugatan terhadap hasil PSU ke MK sangat dimungkinkan. Hal ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam konteks ini, "hasil pemilihan umum" mencakup seluruh proses yang berujung pada penetapan hasil suara, termasuk jika terjadi PSU.

Dalam praktiknya, Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali menerima permohonan sengketa hasil pemilu yang muncul pasca PSU. Sebagai contoh, dalam Putusan MK No. 50/PHPU.D-VI/2009, Mahkamah tetap membuka ruang bagi pihak yang merasa dirugikan meskipun telah terjadi PSU, selama ada bukti bahwa pelanggaran baru telah terjadi dalam PSU tersebut.

Pendapat ini juga diamini oleh Prof. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara, yang menyatakan bahwa "hak konstitusional warga negara untuk menggugat hasil pemilu tidak hilang hanya karena telah dilakukan PSU. Yang menjadi kunci adalah: apakah PSU berlangsung sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil?"

PSU Kabupaten Tasikmalaya: Antara Peluang Gugatan Baru dan Dampak Politik 

Di Kabupaten Tasikmalaya, PSU dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari gugatan calon no urut 2 Cecep Nurul Yakin beserta Asep Sopari ke MK akibat ditemukan pelanggaran yang dianggap berdampak pada hasil pemilihan yaitu terkait masa jabatan Bupati Ade Sugianto calon no urut  3 yang telah melebihi batas, yang pada akhirnya kemudian MK menganolir hasil keputusan KPU yang telah menetapkan no urut 3 Ade Sugianto-Iip Miptahul Faoz sebagai peraih suara terbanyak dalam Pilkada, dan mengintruksikan untuk mengganti Ade Sugianto, yang kemudian digantikan oleh Ai Diantani istri Ade dengan pasangannya Iip Miptahul Faoz. Dan mengintruksikan untuk melakukan pemilihan suara ulang 

Namun setelah proses pemilihan suara ulang yang telah digelar Sabtu 19 April 2025, hasil perolehan sementara Paslon  no urut 2, Cecep Nurul Yakin-Asep Sopari telah unggul dalam perhitungan suara sementara tingkat kecamatan yaitu meraih 396.506 atau 51% suara, calon pasangan no urut 1 Iwan Saputra-Dede Muksit Ali meraih 140.123 atau 18% suara, dan Paslon 03 Ai Diantani-Iip Miptahul Faoz meraup 247.131 atau 32% suara. Walaupun hasil akhir perhitungan PSU akan diumumkan setelah rapat pleno rekapitulasi penghitungan tingkat Kabupaten Tasikmalaya Hari ini Rabu 23/4/2025

Kemudian 2 kubu  paslon yang kalah dalam penghitungan suara sementara PSU tersebut, yaitu no urut 1, Iwan Saputra-Dede Muksit Aly serta no urut 3, Ai Diantani-Iip Miptahul Faoz, telah menyatakan akan mengajukan gugatan baru ke MK dengan dalih bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran pada pelaksanaan PSU oleh Paslon no urut 2, diantaranya dugaan politik uang

Jika gugatan ini jadi diajukan, maka ada dua hal yang menjadi syarat penting agar permohonan tersebut diterima MK:

1. Legal Standing:

Pemohon harus membuktikan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum yang sah untuk mengajukan permohonan. Dalam konteks pemilihan legislatif atau kepala daerah, biasanya ditentukan berdasarkan ambang batas selisih suara, yang telah diatur dalam Peraturan MK.

2. Bukti Materil:

Permohonan harus disertai dengan bukti-bukti yang kuat bahwa pelanggaran yang terjadi dalam PSU berdampak signifikan terhadap hasil akhir perolehan suara. MK tidak akan mengabulkan permohonan yang hanya mendalilkan pelanggaran teknis yang tidak berpengaruh terhadap penetapan pemenang.

Menurut Refly Harun, pakar hukum pemilu, "Dalam praktik MK, tidak cukup hanya menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran, tapi harus ada korelasi langsung bahwa pelanggaran tersebut mengubah hasil. Di sinilah pembuktian menjadi sangat penting."

3. Aspek Politik: Strategi Paslon dalam Arena Pascapemilu

Dalam kacamata politik, pengajuan gugatan ke MK tidak selalu murni bertujuan memenangkan kembali kontestasi. Di banyak kasus, gugatan ini digunakan sebagai alat negosiasi politik. Paslon yang kalah bisa memanfaatkan proses hukum ini untuk menjaga soliditas basis pendukung mereka, membangun narasi bahwa kekalahan bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena ketidakadilan.

Burhanuddin Muhtadi, analis politik dari LSI, menyatakan bahwa "bagi paslon yang kalah, menggugat ke MK bisa menjadi bentuk perlawanan simbolik, sekaligus instrumen untuk menjaga semangat dan emosi kolektif pendukung mereka. Ini penting terutama dalam kontestasi lokal di mana hubungan emosional antara kandidat dan pemilih sangat kuat."

Namun, strategi ini juga memiliki risiko politik. Jika gugatan terbukti lemah dan hanya bernuansa manuver, maka kredibilitas politik paslon bisa menurun. Publik bisa menilai bahwa mereka sekadar tidak siap menerima kekalahan. Maka dari itu, konsistensi narasi dan kekuatan bukti menjadi dua hal krusial.

4. Implikasi Hukum dan Demokrasi Lokal

Gugatan ke MK terhadap hasil PSU, jika dibenarkan secara hukum dan dilakukan dengan itikad baik, sesungguhnya adalah bagian dari penguatan demokrasi. Ia menunjukkan bahwa mekanisme check and balance dalam pemilu masih bekerja. Namun, jika digunakan secara sembrono tanpa dasar yang kuat, justru akan memperpanjang polarisasi dan menguras energi demokrasi lokal.

Dalam konteks Tasikmalaya, MK akan menjadi penentu akhir. Jika paslon yang kalah mampu membuktikan bahwa PSU kembali ternoda oleh pelanggaran serius, maka bukan tidak mungkin Mahkamah mengabulkan permohonan mereka. Namun, jika tidak, maka proses hukum ini harus dihormati sebagai bagian dari edukasi politik kepada masyarakat.

Penutup

Secara hukum, hasil PSU tetap bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, gugatan ini harus berdiri di atas dasar yang kuat secara formil dan materil. Dalam praktik politik, langkah ini bisa menjadi alat perjuangan lanjutan bagi paslon yang kalah, tetapi juga bisa menjadi ajang evaluasi tentang kedewasaan berdemokrasi. Publik berhak mengawasi, dan hukum wajib menilai secara objektif 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun