Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan telah menjadi tonggak penting dalam upaya pemerataan akses kesehatan di Indonesia. Sistem ini menetapkan Puskesmas, atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), sebagai "gerbang pertama" atau filter utama sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit. Secara logis, Puskesmas harusnya menjadi benteng terdepan yang mampu menyelesaikan 80-90% masalah kesehatan. Namun, observasi di lapangan menunjukkan keraguan serius: apakah Puskesmas kita benar-benar telah siap menjalankan fungsi ideal ini? (Pramono, et al., 2025)
Sistem kapitasi BPJS, di mana Puskesmas menerima pembayaran tetap per peserta, seringkali mendorong FKTP untuk meningkatkan kuantitas layanan. Hal ini berdampak langsung pada kualitas pemeriksaan. Dalam observasi singkat, terlihat bahwa seorang dokter harus melayani puluhan pasien dalam waktu beberapa jam. Rata-rata waktu konsultasi per pasien menjadi sangat singkat, mungkin kurang dari lima menit.
Pertanyaannya: Dalam waktu sependek itu, mungkinkah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penentuan diagnosis yang komprehensif? Tekanan waktu ini secara logis berpotensi meningkatkan kesalahan diagnosis atau, yang lebih sering terjadi, "defensive medicine", yaitu merujuk pasien ke rumah sakit (Faskes Tingkat Lanjut/FKTL) hanya untuk menghindari risiko keluhan pasien, padahal kasus tersebut sebetulnya bisa ditangani di Puskesmas. Jika Puskesmas tidak kuat memfilter, FKTL akan kewalahan.
Sistem BPJS menetapkan daftar obat dan jenis layanan yang ditanggung di tingkat Puskesmas. Seringkali, masalah muncul bukan dari kurangnya kompetensi medis, melainkan dari kegagalan komunikasi saat batasan ini diterapkan. Pasien yang sudah antre lama mungkin kecewa ketika tahu bahwa obat yang mereka harapkan tidak tersedia atau kasusnya harus dirujuk karena Puskesmas tidak memiliki alat diagnostik tertentu. Komunikasi yang buruk atau minim empati dari petugas Puskesmas (baik dokter maupun administrasi) sering disalahartikan oleh pasien sebagai penolakan layanan atau kurangnya profesionalisme. Padahal, tugas petugas adalah menjelaskan batasan regulasi BPJS dan alasan medis di balik keputusan tersebut dengan bahasa yang sederhana. Tanpa komunikasi yang efektif, trust (kepercayaan) publik terhadap sistem BPJS di tingkat primer akan terus tergerus. (Dina, et al., 2024)
Filter ideal tidak hanya harus merawat yang sakit, tetapi juga mencegah yang sehat agar tidak jatuh sakit. Di sinilah peran program promotif-preventif BPJS seperti Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) menjadi krusial. Namun, observasi di banyak Puskesmas menunjukkan bahwa kegiatan Prolanis sering hanya menjadi formalitas. Ketersediaan waktu dan anggaran untuk outreach (jangkauan keluar) ke masyarakat, serta pelatihan edukasi yang interaktif dan menarik, masih sangat minim. (Puskesmas Arjuno Pemerintah Kota Malang, 2023)
Secara medis, investasi pada pencegahan (penyuluhan gizi, senam rutin bagi lansia, skrining) akan jauh lebih hemat biaya dan efektif dalam jangka panjang ketimbang menunggu pasien sakit parah dan harus dirawat di rumah sakit (yang notabene jauh lebih mahal bagi BPJS). Puskesmas adalah pilar utama JKN. Untuk menjadikannya "filter ideal," diperlukan intervensi multidimensi yang bukan sekadar penambahan dana sebagaimana berikut:
- Prioritas Waktu: BPJS perlu mengevaluasi ulang sistem kapitasi agar Puskesmas lebih fokus pada kualitas waktu konsultasi ketimbang jumlah pasien.
- Pelatihan Komunikasi: Tenaga kesehatan wajib mendapatkan pelatihan komunikasi dasar yang berfokus pada penyampaian batasan regulasi BPJS dan diagnosis secara jelas, empatik, dan berbasis bukti kepada pasien.
- Penguatan Prolanis: Alokasi dana Puskesmas harus dijamin berpihak pada program promotif-preventif yang kreatif dan terukur, agar beban penyakit kronis di FKTL dapat berkurang signifikan. (Kholdun, et al., 2025)
Jika Puskesmas mampu menjadi filter yang kuat melalui diagnosis yang baik dan komunikasi yang efektif, maka sistem BPJS secara keseluruhan akan menjadi lebih logis, efisien, dan berkeadilan bagi seluruh peserta JKN.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI