Mohon tunggu...
Nafisa Taradila
Nafisa Taradila Mohon Tunggu... Freelancer - Fleelancer

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Peringati Hari Jadi yang Ke-246 Tahun, Masih Relevankah Pengaruh Amerika di Ranah Global?

3 Juli 2022   18:50 Diperbarui: 3 Juli 2022   19:15 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menurunnya kekuatan Amerika 

Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat merupakan negara super power atau dapat disebut sebagai negara adikuasa hingga saat ini. Negara dengan sistem pemerintahan republik federal ini telah menjadi negara yang memiliki kekuatan baik di bidang militer, ekonomi, politik, maupun teknologi yang tinggi. 

Namun, dapat kita ketahui bahwa walaupun Amerika Serikat menempati posisi teratas di negara berkembang, tetapi negara tersebut juga berada di posisi yang terancam. 

Cina dan India telah menjadi pemain yang lebih besar di lingkungan mereka dan sekitarnya. Rusia telah mengakhiri akomodasi pasca-Sovietnya dan lebih bersedia untuk menyuarakan pandangan dan posisinya. 

Eropa telah bertindak pada masalah perdagangan dan ekonomi dengan kekuatan besar. Brasil dan Meksiko menjadi lebih vokal dalam isu Latin Amerika. Afrika Selatan telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin dari benua Afrika. 

Semua negara ini telah mengambil lebih banyak ruang di arena internasional daripada yang telah mereka lakukan sebelumnya. Tentu saja, hal tersebut membawa dampak kemerosotan terhadap kekuatan Amerika Serikat di ranah global.

Pandangan Masyarakat Amerika terhadap Dunia Global

Seperti yang kita ketahui, Amerika Serikat memiliki peranan penting di dunia dan seperti yang telah dijabarkan di atas, perannya pun akhirnya mengalami kemerosotan seiring berkembangnya zaman. Sebagai negara yang memiliki superpower apakah warga lokal memiliki pandangan yang luas akan dunia global? atau apakah mereka tidak peduli dan cenderung terpaku pada stereotip-stereotip yang beredar masyarakat?

Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar warga Amerika tidak tahu-menahu dan tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan tentang Amerika. Negara yang disebut “Negara Kuat” tersebut cenderung mengisolasi diri mereka dari pandangan publik secara luas, merasa dirinyalah yang terbaik. 

Di sisi lain, mereka mempercayai bahwa seluruh dunia iri pada Amerika dan meyakini bahwa Amerika sangat dipuja, dikagumi, dan dihormati, tanpa mengetauhi nyatanya lebih banyak negara yang memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik daripada AS. 

Melihat kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga Amerika Serikat memiliki pandangan yang menyimpang akan khalayak global, merasa superior, dan kondisinya mengarah ke perbedaan atau malah lebih baik dari suatu sistem, yang bisa disebut sebagai American exceptionalism.

Budaya Exceptionalism di Amerika

Khotbah dari John Winthrop yang berjudul “A Model of Christian Charity,” merupakan salah satu teks awal yang menyiratkan budaya Exceptionalism di Amerika. Khotbah tersebut dilayangkan pada tahun 1630. 

Di dalam khotbah tersebut, Winthrop menyebutkan bahwa mereka adalah kota diatas bukit dimana mata semua orang tertuju kepada kota tersebut. Khotbah Winthrop tersebut kemudian dikutip oleh Presiden Ronald Reagan pada pidatonya di salah satu konferensi pada tahun 1974. 

Reagan menganggap bahwa John Winthrop memiliki visi bahwa sebuah republik akan menjadi contoh dan model bagi dunia. Namun, John Winthrop sendiri sebenarnya merupakan simpatisan Inggris pada saat ia menyampaikan khotbahnya. Pada tahun 1630 sendiri, Amerika Serikat belum bebas dari jajahan Inggris.

Budaya Exceptionalism terhadap Amerika merupakan suatu kepercayaan dimana Amerika memiliki misi khusus dan kemampuan untuk menjadi contoh yang baik bagi negara yang lain. Budaya tersebut memiliki implikasi bahwa Amerika merupakan negara panutan dan lebih tinggi dari negara lainnya.

Dampak Budaya Exceptionalism Terhadap Superioritas Amerika

Saat Amerika masih merasa negaranya adalah negara paling kuat dan meng-eksklusifkan negaranya, mereka tidak sadar bahwa negara-negara lain sudah mulai berkembang dan memiliki kekuatan mereka sendiri. 

Menurut seorang mantan diplomat India, M. K. Bhadrakumar, budaya Exceptionalism ini sangatlah berbahaya, sebab keyakinan pada diri seseorang bahwa dirinya 'luar biasa' berpotensi mendorongnya bertindak secara berlebihan atau semena-mena. 

Perasaan lebih hebat dari negara lain, sering kali intervensi militer AS terhadap negara-negara berdaulat malah memperburuk situasi krisis politik yang memang sudah rumit. Contohnya di Haiti, Liberia, Somalia, Afganistan dan Irak. 

Selain itu, pada masa pemerintahan Donald J Trump yang sangat kental dengan budaya Exceptionalism, ada larangan bagi warga dari tujuh negara muslim untuk masuk ke Amerika Serikat. Donald J Trump juga memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kebijakan tersebut menjadi kontroversial terutama bagi Palestina dan Kaum Muslim seluruh dunia. 

Amerika juga sempat mendapat sanksi dari PBB di tahun 2018, yang memerintahkan kepada seluruh anggota PBB untuk melakukan pemutusan seluruh atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi, termasuk hubungan kereta api, laut, udara pos, telegraf radio dan alat-alat komunikasi lainnya sesuai dengan Pasal 41 Piagam PBB.

Dengan berkembangnya kekuatan negara-negara di dunia saat ini, seperti China dan India, serta image negatif yang tertanam terhadap budaya Exceptionalism Amerika, pengaruh Amerika di kancah internasional juga semakin menurun. 

Kesimpulan

Masyarakat internasional yang selama ini mengakui—atau setidaknya dipaksa untuk mengakui—keyakinan “American Exceptionalism yaitu kepercayaan bahwa AS adalah sebuah negara yang ditakdirkan menjadi penggerak kemajuan peradaban dunia lewat liberalisme dan demokrasi sudah seharusnya mempertanyakan relevansi dari narasi tersebut. 

Hal ini tidak luput dari berbagai insiden yang menunjukkan adanya degradasi dan kemerosotan dalam performa dan mekanisme penyelesaian konflik AS baik di dalam negeri, maupun kemerosotan yang berimplikasi pada pengambilan keputusan dalam sengketa internasional, seperti misalnya tindakan unilateral yang menyebabkan AS keluar dari kerja sama internasional. Dengan berbagai situasi di atas, cita-cita AS yang diusung lewat American Exceptionalism sedang memasuki fase kritis. 

Di saat negara lain mulai aktf, ruang gerak Amerika pasti akan tereduksi. Bisakah Amerika Serikat mengakomodasi dirinya sendiri terhadap kebangkitan kekuatan negara-negara lain? 

Satu-satunya jalan terbaik bagi Amerika adalah dengan menciptakan koalisi internasional. Dan itu akan menjadi mungkin jika Washington dapat menunjukkan kesediaannya untuk mengizinkan negara-negara lain menjadi pemangku kepentingan dalam ranah global. 

alam tatanan internasional saat ini, kemajuan berarti kompromi. Tidak ada negara yang akan mendapatkan porsi utuh dalam membuat keputusan dalam dialog internasional. Hal ini dilakukan dengan menerima pertumbuhan kekuatan dan pengaruh negara lain, begitupun dengan kepentingan dan perhatian yang menonjol.

Oleh: Silvi Nur Fadilla R., Inas Bilqis A.,  Nafisa Taradila, Gitasya Ananda M., dan Grace Melody

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun