Menyangkut soal sejarah, baru-baru ini tersiar kabar akan adanya rencana untuk merevisi naskah sejarah Indonesia, menjadi suatu diktat resmi katakanlah, yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini tentu memicu respon (penolakan) yang ramai.
Dan saya, gatal untuk tidak menanggapi.
Di penghujung bulan kebangkitan nasional ini, saya mencoba menelisik dan menelusuri keterkaitan antara kebangkitan nasional dan penulisan ulang sejarah Indonesia dilihat dari relevansinya dengan realita yang kita hadapi di keseharian saat ini.
Sebelum menarik benang merah antara dua momen itu, sejenak kita harus mundur ke masa lalu:
Sejarah singkat kebangkitan nasionalÂ
Kesadaran sebagai sebuah bangsa hingga bersatu untuk melepaskan diri dari penindasan tidaklah muncul dalam semalam.
Multatuli melalui Max Havelaar (1860) melontarkan kritik tajam perihal kesewenang-wenangan tanam paksa pemerintah kolonial terhadap pribumi. Ini menjadi pemantik awal gelombang besar yang mengguncang negeri Belanda.
Dikemudian hari, C. Th. van Deventer dan J.H. Abendanon diantaranya menjadi pembuka jalan diterapkannya politik etis atau politik balas budi.
Meski dinamakan politik balas budi, pada prosesnya terjadi penyimpangan-penyimpangan, yang tentu saja tidak jauh-jauh ditujukan untuk keuntungan pemerintah kolonial Belanda sendiri. Salah satunya adalah guna mencetak banyak pegawai berupah rendah.
Walau demikian, kebijakan ini menjadi salah satu faktor internal cikal bakal lahirnya kaum-kaum terdidik awal dari kalangan bumiputera di awal abad ke-20 di tanah Hindia-Belanda.