Mohon tunggu...
Nafiatul Ismiah
Nafiatul Ismiah Mohon Tunggu... Fresh Graduate | Freelance Artist @nafiaisme_

Anak hukum yang suka ngulik sejarah, hobi ngegambar dan nulis puisi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polemik Vasektomi Jadi Syarat Bansos, Sejauh Mana Bisa Jadi Solusi?

3 Mei 2025   01:44 Diperbarui: 27 Juni 2025   20:09 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar tangan menggenggam gunting, representasi vasektomi (ilustrasi dan dokumentasi pribadi)

Ini juga termasuk pemerintah yang selama ini tak becus mensejahterakan rakyat dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ruwet yang acuh terhadap keberlangsungan kelas pekerja, seperti efisiensi anggaran yang berkontribusi dalam memicu PHK masal. Sehingga banyak angkatan produktif kita yang terperosok ke dalam palung neraka pengangguran.

Akhirnya, karena tidak banyak pilihan yang tersisa, tidak sedikit juga yang terjebak dalam lingkaran setan (seperti pinjol dan kriminalitas) untuk menyambung hidup dari hari ke hari.

Penting untuk digarisbawahi bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar (sudah seharusnya) dipelihara oleh negara. Begitulah undang-undang dasar kita berbunyi. Baca saja Pasal 34. Jika demikian, bukankah kehadiran negara bagi masyarakat miskin ini adalah keniscayaan? Bantuan yang diberikan sejatinya merupakan perwujudan jaminan dari negara. Ini mestinya dilaksanakan tanpa embel-embel apapun.

Membuat masyarakat prasejahtera terjerembab dalam keterpaksaan antara tak bisa menerima bansos jika tak melakukan vasektomi adalah bentuk 'ancaman pencabutan hak' yang terasa picik. Masyarakat prasejahtera dipersepsikan sebagai objek yang mesti dikendalikan jumlahnya dan 'diberantas', bukannya diberdayakan supaya lekas mentas dari kemiskinan.

Usulan mewajibkan vasektomi untuk dapat bansos bagi masyarakat prasejahtera tak lain merupakan penghakiman sosial yang semena-mena dan menjadi bukti bahwa pejabat kita gemar melontarkan celetukan tanpa pikir panjang. Main pukul rata akan permasalahan yang sebenarnya berbeda: mengatur angka kelahiran tidak berarti dapat menurunkan persentase kemiskinan.

Kedua, vasektomi harusnya dilakukan atas dasar pilihan pribadi, bukan paksaan.

Jika membuka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS), pada Pasal 4 Ayat (1) huruf c, dikatakan bahwa pemaksaan kontrasepsi adalah salah satu bentuk dari tindak pidana kekerasan seksual.

Pada Pasal 8 juga diterangkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi, diantaranya dengan penyalahgunaan kekuasaan dan membuat membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.

Gagasan vasektomi ala KDM ini bersifat memaksa dan menyudutkan, yang mana bertentangan dengan hak asasi yang melekat pada tiap-tiap orang yang seyogyanya memiliki kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.

Lagipula, kontrasepsi adalah ranah privat. Melakukan atau tidaknya adalah pilihan. Negara seharusnya tak punya urusan.

Jika pemerintah memang serius perihal vasektomi, maka bumikanlah itu dengan menyerahkannya kepada pribadi masing-masing orang, agar dapat meresap entah sebagai edukasi maupun jadi opsi kontrasepsi tanpa terikat dengan persyaratan bansos, yang riskan jadi celah bagi tangan negara yang gatal mencampuri otoritas tubuh warganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun