Topik ini mencuat setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau Kang Dedi a.k.a KDM, mencetus akan menjadikan vasektomi sebagai syarat bagi masyarakat prasejahtera di wilayahnya menerima bantuan sosial (bansos).
Vasektomi sendiri adalah kontrasepsi pria dengan mengikat atau memotong saluran sperma dari testis untuk mencegah terjadinya kehamilan. Prosedur ini tidak mempengaruhi hormon testosteron, libido, maupun ereksi. Sehingga sekalipun tanpa sperma, lelaki masih bisa mencapai orgasme dan ejakulasi.
Meski disebut permanen karena memang lumrah dimaksudkan untuk kontrasepsi jangka panjang, vasektomi bisa diurungkan dengan menyambungkan kembali saluran sperma.
Wacana vasektomi oleh KDM semata-mata dimaksudkan untuk menurunkan persentase kemiskinan dengan melarang masyarakat prasejahtera beranak.
Adapun setelah membaca-baca artikel berita dan mengikuti perkembangannya di media sosial seperti Instagram dan X selama beberapa waktu, berikut ini adalah usaha saya untuk menguraikan benang kusut perkara vasektomi dengan menguliknya dari sudut pandang opini:
Pertama, vasektomi adalah jalan keluar instan semata.
Tak bisa dielakkan, saya setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa sebelum melaksanakan perkawinan dan memiliki anak, hendaknya dipikirkan matang beratus kali, apalagi dari segi kesiapan finansial.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa jerat kemiskinan tidaklah sederhana. Realitanya begitu rumit. Namun, jika kita mencoba menarik garis besarnya, kemiskinan diantaranya dapat disebabkan oleh dua faktor:
Secara kultural, berasal dari internal atau dengan kata lain diakibatkan oleh diri sendiri akan hal-hal yang sejatinya masih bisa diusahakan. Misalnya malas mencari kerja, tidak mau upgrade keahlian, pasrah akan keadaan, tidak visioner mempersiapkan masa depan, dan sejenisnya.
Dan secara struktural, yakni dari eksternal yaitu hal-hal yang berada di luar kuasa kita. Seperti lapangan pekerjaan terbatas yang tidak berimbang dengan jumlah pencari kerja, kriteria lowongan yang memandang penampilan, mematok batasan usia, dan pengkhususan untuk jenis kelamin tertentu, serta ketimpangan akses, seperti dalam pendidikan dan informasi, sehingga mempersempit kesempatan seseorang untuk menyalurkan kemampuan dan mengembangkan potensinya.
Ini juga termasuk pemerintah yang selama ini tak becus mensejahterakan rakyat dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ruwet yang acuh terhadap keberlangsungan kelas pekerja, seperti efisiensi anggaran yang berkontribusi dalam memicu PHK masal. Sehingga banyak angkatan produktif kita yang terperosok ke dalam palung neraka pengangguran.
Akhirnya, karena tidak banyak pilihan yang tersisa, tidak sedikit juga yang terjebak dalam lingkaran setan (seperti pinjol dan kriminalitas) untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Penting untuk digarisbawahi bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar (sudah seharusnya) dipelihara oleh negara. Begitulah undang-undang dasar kita berbunyi. Baca saja Pasal 34. Jika demikian, bukankah kehadiran negara bagi masyarakat miskin ini adalah keniscayaan? Bantuan yang diberikan sejatinya merupakan perwujudan jaminan dari negara. Ini mestinya dilaksanakan tanpa embel-embel apapun.
Membuat masyarakat prasejahtera terjerembab dalam keterpaksaan antara tak bisa menerima bansos jika tak melakukan vasektomi adalah bentuk 'ancaman pencabutan hak' yang terasa picik. Masyarakat prasejahtera dipersepsikan sebagai objek yang mesti dikendalikan jumlahnya dan 'diberantas', bukannya diberdayakan supaya lekas mentas dari kemiskinan.
Usulan mewajibkan vasektomi untuk dapat bansos bagi masyarakat prasejahtera tak lain merupakan penghakiman sosial yang semena-mena dan menjadi bukti bahwa pejabat kita gemar melontarkan celetukan tanpa pikir panjang. Main pukul rata akan permasalahan yang sebenarnya berbeda: mengatur angka kelahiran tidak berarti dapat menurunkan persentase kemiskinan.
Kedua, vasektomi harusnya dilakukan atas dasar pilihan pribadi, bukan paksaan.
Jika membuka Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS), pada Pasal 4 Ayat (1) huruf c, dikatakan bahwa pemaksaan kontrasepsi adalah salah satu bentuk dari tindak pidana kekerasan seksual.
Pada Pasal 8 juga diterangkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi, diantaranya dengan penyalahgunaan kekuasaan dan membuat membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta.
Gagasan vasektomi ala KDM ini bersifat memaksa dan menyudutkan, yang mana bertentangan dengan hak asasi yang melekat pada tiap-tiap orang yang seyogyanya memiliki kemerdekaan atas tubuhnya sendiri.
Lagipula, kontrasepsi adalah ranah privat. Melakukan atau tidaknya adalah pilihan. Negara seharusnya tak punya urusan.
Jika pemerintah memang serius perihal vasektomi, maka bumikanlah itu dengan menyerahkannya kepada pribadi masing-masing orang, agar dapat meresap entah sebagai edukasi maupun jadi opsi kontrasepsi tanpa terikat dengan persyaratan bansos, yang riskan jadi celah bagi tangan negara yang gatal mencampuri otoritas tubuh warganya.
Hitung-hitung dengan cara itu dapat menggerakkan (dan bukannya memaksa) laki-laki agar timbul kesadaran diri untuk berperan lebih aktif dalam tanggung jawab reproduksi dan perencanaan anak jangka panjang (mengingat Indonesia adalah salah satu negara paling fatherless di dunia) guna sedikit mengurangi tanggungan perempuan yang sudah ngos-ngosan dihantam stigma dan tuntutan ibuisme.
Pun, jika ditarik agak jauh, bansos sendiri sedari awal adalah solusi malas yang diberikan pemerintah yang enggan turun tangan lebih jauh dalam mengurus rakyatnya. Ia adalah penambal sementara waktu. Masyarakat prasejahtera diberi jatah untuk makan sehari-dua hari. Namun di hari ketiga, mereka dibiarkan kembali kelimpungan mengais-ngais penghidupan, semetara pemerintah buang muka karena merasa sudah membantu.
Duet bansos-vasektomi sama halnya dengan salep yang hanya dioleskan pada permukaan, tidak menyembuhkan akar permasalahan yang jauh terpendam.
Akhir kata, jika pemerintah memang benar-benar memiliki sekadar niat saja untuk memperbaiki kualitas hidup rakyatnya, maka pemerataan akses dan inklusivitas lapangan kerja diantaranya dapat menjadi jawaban. Bukannya malah mencanangkan kebijakan yang sok mengatur isi celana dan selangkangan.
Referensi:
Juliasyah, Ricky. 2025. Dedi Mulyadi Akan Jadikan Vasektomi sebagai Syarat Terima Bansos. Diakses pada 2 Mei 2025 dari https://www.tempo.co/politik/dedi-mulyadi-akan-jadikan-vasektomi-sebagai-syarat-terima-bansos-1284804
Wijaya, Hendry. 2021. Apakah Efek Sterilisasi Vasektomi Dapat dibatalkan?. Diakses pada 2 Mei 2025 dari https://hellosehat.com/kehamilan/kesuburan/apakah-vasektomi-bisa-dibatalkan/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI