Mohon tunggu...
Nafi Ramadhani
Nafi Ramadhani Mohon Tunggu... Desainer - Pencari ilmu yang rajin bermalas-malasan

Fatum Brutum Amorfati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita di Balik Jendela

1 Maret 2021   14:15 Diperbarui: 1 Maret 2021   19:18 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam menunjuk pukul sepuluh pagi, gorden jendela kamar tak lagi mampu menyembunyikan terang sinar surya. Dibalik gorden yang menerawang itu ada pemuda dengan perawakan sedang. 

Ia adalah Ara, yang sedang menatap kosong keluar jendela. Bekas tetes air mata yang mengering tak mampu ia sembunyikan. Disampingnya terdapat botol air minum berembun yang isinya tersisa setengah, entah sudah berapa hari air didalamnya tak diganti.

Takdir hidup mengurungnya dalam masa-masa sengsara yang tak pernah mampu terlewati dihidupnya. Ia bisa saja menghabiskan sepanjang hari dengan pembawaannya yang riang, bercanda, dan menghibur orang-orang disisinya. Namun saat petang datang ia berubah menjadi diri yang pendiam. Wajahnya cemas, seakan tak rela malam datang.

Ini adalah tahun kesebelas Ara menjalani hari-hari penuh cemas dan malam yang penuh ketakutan. Ya, ia tak mampu beralih dari kegagalan dan hal-hal buruk masa silam. Tahun demi tahun ia kian jatuh tenggelam.

Baginya tak ada yang lebih buruk dari kehidupan, dan bertemu dengan malam. Ia berfikir, bahwa hidup hanya akan memenjaranya dalam rasa sakit dan kesengsaraan. Begitu pula ketika malam datang, ia tau meski ia memiliki cukup teman, namun tak satupun orang akan menemaninya menghadapi malam yang mengerikan. Ia juga menyadari, bahwa ia telah jauh kehilangan hidupnya. Dan kini, hidup tak lagi berarti baginya.

Sebelas tahun yang lalu, saat usianya baru menginjak 10 tahun. Ara adalah seorang perenang. bukan saja perenang biasa, ia memiliki medali dan mencatat namanya dalam berlembar-lembar piagam prestasi. Mungkin saja itu adalah pencapaian yang hebat untuk kalangan anak seusianya. Hari yang indah dan kehidupan yang membanggakan ia rasakan.

Namun dibalik itu, karna ambisi orang tua yang menuntut Ara untuk terus sempurna. Maka sial baginya ketika hasil latihan atau perlombaannya kurang memuaskan. Yang ia dapat bukan lagi kebanggaan, tak lain adalah wajah yang memerah karna bekas tamparan atau telinga yang bengkak karna sentilan. Itu masih lebih baik, dibanding gagang sapu yang keras harus ia biarkan menghentak kencang di kepala, atau punggungnya seperti yang sudah sudah.

Rasa sakit karna ditampar, atau dipukul baginya telah lumrah terjadi. Itu mungkin tak lebih sakit dari sumpah serapah dan makian yang harus ia dengar hari demi hari, atau rasa malu karna diperlakuan kasar didepan banyak orang. Sebelas tahun lalu, ia hidup dengan kebanggaan yang dibalut rekat dengan rasa sedih dan kesakitan.

----

Kini Ara berusia 21 tahun, meski lukanya tak lagi lebam dan bekasnya pun telah menghilang, rasa sakit dimasa lalu masih dengan jelas ia rasakan. Bertumbuh dengan semua itu membuat hidupnya terasa cacat, Ia tak mampu hidup normal seperti orang kebanyakan. Ia dilanda ketakutan, kecemasan, juga dendam. Ia mulai membenci dirinya dan juga hidupnya.

Ara tak mampu mempercayai orang-orang didekatnya, dan ia tenggelam dalam kesendirian dan rasa kehilangan. Tiga tahun belakangan, saat malam datang. Ia mulai melukai dirinya sebagai bentuk luapan setiap rasa yang ia rasakan. Ara merasa candu menyayatkan jarum ke lengannya, atau memukuli kepala dengan tangannya sendiri. Bahkan, ia beberapa kali berkeinginan mengakhiri hidup dengan mencoba menggantung lehernya pada tali yang selalu ia ikatkan diatas jendela kamarnya.

Ara membenci kehidupannya melebihi apapun, kebenciannya membuat ia tak mampu bercita-cita, atau sekedar mengharap rasa pada dunia. Ia membenci kesendiriannya, kegagalannya, kesalahannya dan semua yang ada pada dirinya. Ia berulang kali mencoba mencintai dirinya kembali, dan memperbaiki hidupnya yang telah hancur sebelas tahun lalu. Meski berkali mecoba untuk mengakhiri, takdir tak membiarkan ia cepat pergi. 

Tiap malam ia ketakutan, seolah semua yang terjadi pada masa lalunya di putar ulang. Dalam batinnya ia berteriak, meminta siapa saja untuk menolongnya. Membawanya pergi dari semua ketakutan dan kesengsaraan itu, namun sayang tak satupun telinga mendengar teriakannya. Akhirnya ia mencoba menerima jika dunia tak dapat memahaminya, karna ia juga sadar tak mampu menjelaskan apa yang dihadapinya. Lagipula ia tak dapat mempercayai siapapun di hidupnya, terlebih penyebab dari apa yang terjadi dihidupnya adalah orang-orang yang menjadi alasan ia terlahir didunia.

Hingga pukul satu siang Ara masih saja melamun, tatapannya kosong. Diluar jendela, siang terlihat kian terik. Ara mengingat sebuah perlombaan, saat ia hampir saja tenggelam karna kakinya yang kram. namun ia tetap memaksa menyelesaikan perlombaan walau hanya dengan setengah kaki yang dapat digerakkan. Itu adalah perlombaan terakhirnya, dan satu masa yang akan berdampak panjang dalam hidupnya.

Sepulang dari perlombaan itu, ia tak dapat menghindari hal buruk yang menantinya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, semua sumpah serapah ia dengar jelas dari mulut seseorang yang melahirkannya. Ia juga mengingat jelas  saat gagang sapu menghentak keras ke tubuhnya, air matanya turun deras, dan rintihan "ampun pak, ampun.. sudah.. sudah pak.. ampun" terucap dari bibirnya.

Setelah perlombaan itu, harapan hidup bahagia menjadi seorang atlit harus Ara akhiri. Ara memilih berhenti menjadi perenang. Ia tak sanggup menahan beban berat yang terus dihadapinya. Ia sempat ingin menjadi pesepakbola karna itu sesuai dengan hobinya. Namun ia lebih dulu merasa takut karna bapaknya berkata bahwa kakinya akan dipatahkan seandainya ia tak bersungguh-sungguh dan gagal menjadi pesebakbola profesional. Ia tak rela kehilangan kakinya, setelah ia kehilangan hidup dan harapannya.

Setelah sebelas tahun menghadapi kenyataan buruk, siang ini ara terlihat lebih tenang. Botol minuman disampingnya tak berubah, isinya tetap saja setengah dengan embun didalamnya. Ara tetap saja diam menatap kosong ke luar jendela, bekas sayatan jarum masih terlihat memerah di tangan kanannya, tali simpul gantung yang ia buat beberapa waktu lalu kini erat mengikat leher dan menggantung tubuhnya yang dingin dibalik gorden jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun