Mohon tunggu...
Nafi Ramadhani
Nafi Ramadhani Mohon Tunggu... Desainer - Pencari ilmu yang rajin bermalas-malasan

Fatum Brutum Amorfati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita di Balik Jendela

1 Maret 2021   14:15 Diperbarui: 1 Maret 2021   19:18 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ara membenci kehidupannya melebihi apapun, kebenciannya membuat ia tak mampu bercita-cita, atau sekedar mengharap rasa pada dunia. Ia membenci kesendiriannya, kegagalannya, kesalahannya dan semua yang ada pada dirinya. Ia berulang kali mencoba mencintai dirinya kembali, dan memperbaiki hidupnya yang telah hancur sebelas tahun lalu. Meski berkali mecoba untuk mengakhiri, takdir tak membiarkan ia cepat pergi. 

Tiap malam ia ketakutan, seolah semua yang terjadi pada masa lalunya di putar ulang. Dalam batinnya ia berteriak, meminta siapa saja untuk menolongnya. Membawanya pergi dari semua ketakutan dan kesengsaraan itu, namun sayang tak satupun telinga mendengar teriakannya. Akhirnya ia mencoba menerima jika dunia tak dapat memahaminya, karna ia juga sadar tak mampu menjelaskan apa yang dihadapinya. Lagipula ia tak dapat mempercayai siapapun di hidupnya, terlebih penyebab dari apa yang terjadi dihidupnya adalah orang-orang yang menjadi alasan ia terlahir didunia.

Hingga pukul satu siang Ara masih saja melamun, tatapannya kosong. Diluar jendela, siang terlihat kian terik. Ara mengingat sebuah perlombaan, saat ia hampir saja tenggelam karna kakinya yang kram. namun ia tetap memaksa menyelesaikan perlombaan walau hanya dengan setengah kaki yang dapat digerakkan. Itu adalah perlombaan terakhirnya, dan satu masa yang akan berdampak panjang dalam hidupnya.

Sepulang dari perlombaan itu, ia tak dapat menghindari hal buruk yang menantinya. Sepanjang perjalanan menuju rumah, semua sumpah serapah ia dengar jelas dari mulut seseorang yang melahirkannya. Ia juga mengingat jelas  saat gagang sapu menghentak keras ke tubuhnya, air matanya turun deras, dan rintihan "ampun pak, ampun.. sudah.. sudah pak.. ampun" terucap dari bibirnya.

Setelah perlombaan itu, harapan hidup bahagia menjadi seorang atlit harus Ara akhiri. Ara memilih berhenti menjadi perenang. Ia tak sanggup menahan beban berat yang terus dihadapinya. Ia sempat ingin menjadi pesepakbola karna itu sesuai dengan hobinya. Namun ia lebih dulu merasa takut karna bapaknya berkata bahwa kakinya akan dipatahkan seandainya ia tak bersungguh-sungguh dan gagal menjadi pesebakbola profesional. Ia tak rela kehilangan kakinya, setelah ia kehilangan hidup dan harapannya.

Setelah sebelas tahun menghadapi kenyataan buruk, siang ini ara terlihat lebih tenang. Botol minuman disampingnya tak berubah, isinya tetap saja setengah dengan embun didalamnya. Ara tetap saja diam menatap kosong ke luar jendela, bekas sayatan jarum masih terlihat memerah di tangan kanannya, tali simpul gantung yang ia buat beberapa waktu lalu kini erat mengikat leher dan menggantung tubuhnya yang dingin dibalik gorden jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun