Mohon tunggu...
Nadya salsabila lukman
Nadya salsabila lukman Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negara Bangkrut, Koruptor Gendut

9 Desember 2019   20:18 Diperbarui: 9 Desember 2019   20:25 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Korupsi. Siapa yang tidak geram mendengar kata tersebut? Bak tren, korupsi tumbuh mengakar dan menjamur di Negeri tercinta Indonesia. Seperti kurang lengkap rasanya jika perpolitikan di Indonesia tanpa isu kasus-kasus korupsi. Sudah layaknya gaya hidup, para pejabat negeri seolah menganggap korupsi itu makanan sehari-hari, dan bagaimana nasib masyarakat? Hanya tinggal gigit jari. Dibalik jeruji besi tidak membuat mereka sulit, malah perutnya semakin membuncit. Itu bukan penjara! Melainkan istana.

Sejarah Indonesia membuktikan bahwa korupsi adalah suatu kegiatan yang melekat pada tiap periode pemerintahan. Sejak 1945, korupsi sudah mengguncang sejumlah partai politik. (Kompasiana). Bahkan pada tahun 2018 sendiri korupsi sudah mengambil sejumlah kerugian yang tak terhitung. Kerugian negara akibat korupsi pada 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Hal ini merupakan hasil kajian dari Indonesia Corruption Watch ( ICW) yang dirilis pada Minggu (28/4/2019). "Korupsi jauh lebih mungkin berkembang di mana fondasi demokrasi lemah dan di mana politisi tidak demokratis dan populis dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka," kata Delia Ferreira Rubio, seorang pemimpin  kelompok masyarakat sipil global di Argentina (Former President of Transparency Internasional's Chapter in Argentine)

Setelah mengalami pengalaman yang sangat memilukan dibawah kolonialisme Portugal dan sistem imperialisme Portugis yang klasik dan hegemonik bukan hanya menjajah fisik tetapi juga jiwa. Ditambah lagi 350 tahun dibawah kekejaman Belanda tak lebih baik keadaan Indonesia saat itu. Jepang, negara pemuja matahari tak mau kalah ikut menjajah negeri yang kaya akan rempah-rempah ini. Namun, mengapa malah Indonesia seolah masih terjajah sampai saat ini? ya, dijajah oleh mereka para koruptor! Para pengkhianat bangsa.

Agaknya, ungkapan Tere Liye yang ditulisnya dalam sinopsis yang terpampang pada cover novelnya, Negeri di Ujung Tanduk "Dalam negeri yang sudah mencapai ujung tanduk, dimana para penipu naik sebagai pemimpin dan para pengkhianat menjadi pujaan. bukan karena tidak ada lagi yang memiliki teladan, tapi mereka memutuskan untuk menutup mata dan memilih hidup bahagia sendirian." (Tere Liye, Jakarta : 2013) Sangat menggambarkan situasi perpolitikan negara indonesia. Bagai tak punya malu,  banyak Parpol mengajukan kembali Calon Legislatif Eks koruptornya. Entah demi kepentingan rakyat atau hanya keuntungan pribadi semata.

Sepertinya para pemimpin tersebut belum paham betul geopolitik indonesia. Dimana seharusnya geopolitik menjadi kekuatan utama dan fundamental dalam perubahan dunia untuk menjadi lebih baik dan lebih buruk. Namun, dengan mejamurnya para musang berbulu domba ini seperti menjadi penghalang untuk indonesia menjadi lebih baik. Bagaimana tidak, korupsi merupakan salah satu faktor tersendatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara hingga dapat menyebabkan kemiskinan.

Praktik korupsi yang masif ini menunjukkan bahwa semangat pengabdian dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara semakin tipis dan kronis yang harus segera diamputasi. Slogan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, itu hanya isapan jempol belaka. Karena mereka telah berbohong terhadap rakyat, berarti sama dengan telah mengkhianati tuhan. Bisa dikatakan mereka sudah melumuri tubuhnya denga dosa atas segala prilaku dan tindakanya. Bila melihat benang merah dari banyaknya kasus korupsi yang menjamur ini, salah satu indikatornya adalah memudarnya Nasionalisme. Dimana Nasionalisme harus memerintah atas nama dan demi kepentingan bangsa. Sedangkan korupsi merupakan perbuatan yang mengutamakan kepentingan diri atau kelompok. Sudah pasti bertentangan dengan apa yang disebut dengan nasionalisme itu sendiri.

Seperti bisa diketahui dalam beberapa kasus korupsi yang berhasil ditangani oleh KPK. Tak sedikit uang yang telah dirampas dan merugikan negara. Sebut saja kasus korupsi Kotawaringin Timur yang dicap sebagai kasus Mega korupsi terbesar yang ditangani oleh KPK. Bagaimana tidak, kasus korupsi penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang menyeret tiga perusahaan besar, merugikan negara hingga menyentuh angka 5,8 Triliun. Belum lagi kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang telah bergulir sejak lebih dari satu dasawarsa juga digadang-gadang sebagai salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah ada di Tanah Air. Hingga kini kasus yang membelit beberapa petinggi negara tersebut belum kunjung menemui titik terang.

BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia terhadap bank-bank yang mengalami masalah pemenuhan pembayaran kewajiban yang erat kaitannya dengan krisis moneter tahun 1998. Bank yang telah mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL), namun belakangan diketahui SKL itu diberikan sebelum bank tertentu melunasi bantuan.

Hanya saja, masalah terjadi manakala Bank Dagang Nasional Indonesia, yang saat itu pemegang sahamnya dikendalikan oleh Sjamsul Nursalim, masih punya kewajiban untuk membayar Rp 3,7 triliun, padahal ia telah menerima SKL BLBI. Tunggakan tersebut yang hingga kini tak pernah dibayarkan dan menjadi kerugian negara, menurut KPK.

Tentu saja ada permainan pejabat tinggi dalam kasus ini, hanya saja hingga kini masih belum diketahui pasti. Seperti diberitakan BBC Indonesia (27/4/20117), kasus ini menyelewengkan dana negara sebanyak 95% dari total bantuan Rp144,5 triliun. Menurut keterangan KPK, kerugian negara akibat kasus megakorupsi ini mencapai Rp 3,7 triliun. Penyelesaian kasus besar yang ditargetkan rampung 2018 ini pun kembali molor hingga 2019.

Sekarang mari kita lihat korupsi pada kacamata eskatologi islam. Peringatan tentang perbuatan diharamkan ini sudah termaktub dalam QS. Al-Baqarah (2):188 yang berbunyi: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." Dalam dalil yang terdapat dalam surat al-imran (3):161  Allah swt juga berfirman "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.

Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. " Dalam sebuah hadist dijelaskan, bahwasannya nanti ketika hari akhir atau pada hari kiamat orang yang melakukan korupsi dan perbuatan sejenisnya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak atas harta yang telah ia makan dan tak akan ada yang menolongnya sekalipun itu Rasulullah SAW.

Perkara korupsi di akhir zaman juga ditulis dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari: Bersumber dari Ab Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w. yang bersabda: "Akan datang kepada manusia suatu zaman yang mana tidak seorang pun peduli dari mana ia memperoleh (harta), jalan halalkah atau jalan haram." Akan tiba suatu masa di mana masyarakat menganggap remeh semua perbuatan dan usahanya. Mereka tidak peduli dengan nilai sebuah proses dalam meraih apa yang diingingkan.

Langkah mereka dituntun oleh lubang kacamata kuda, sehingga apa yang tampak di mata mereka hanya hasil dan hasil. Persoalan samping kanan-samping kiri terinjak, tersikut, tersakiti, bukan lagi soal buah mereka. alangkah baiknya jika kita hujamkan pertanyaan pada masing-masing diri: "Apakah fakta berbagai tindakan korupsi ini menunjukkan bahwa masa yang dimaksud hadits di atas adalah masa di mana kita hidup? Terlebih, di masa kini korupsi dilakukan secara sistematis, serta berkelindan di berbagai institusi dan jabatan?" Jika setiap kita sadar mengangguk, untuk keluar dari keadaan ini, pantaslah hanya mengutuk?

*Penulis adalah mahasiswa semester 1 (satu) mata kuliah Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun