Mohon tunggu...
nadyarb_
nadyarb_ Mohon Tunggu... Mahasiswa - STAI Al-Anwar

.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengurai Benang Kusut Pungutan Liar: Perspektif Teori Kewarganegaraan dan Konstitusionalisme

2 Mei 2024   12:34 Diperbarui: 2 Mei 2024   12:39 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah upaya pembangunan nasional yang berkelanjutan, Indonesia menghadapi tantangan persisten dalam bentuk pungutan liar (pungli). Fenomena ini tidak hanya menghambat efisiensi administratif tetapi juga merongrong nilai-nilai kewarganegaraan. Kasus-kasus terbaru yang mencuat ke permukaan hanya menambah panjang daftar pelanggaran yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Kita dihadapkan pada realitas yang pahit: ketidakadilan masih merajalela di tengah-tengah masyarakat yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Indonesia terus berjuang melawan praktik pungli yang merugikan masyarakat. Baru-baru ini, berbagai kasus pungli mendapat sorotan media dan menjadi fokus penegakan hukum.

Di sektor pemerintahan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan internal dengan adanya dugaan pemerasan di Rumah Tahanan KPK. Eks Karutan KPK, Achmad Fauzi, mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan status tersangka kasus dugaan pemerasan. KPK juga telah menahan 15 tersangka terkait kasus pungli di rutan tersebut. Kasus ini menarik perhatian publik karena ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi benteng pemberantasan korupsi, justru terlibat dalam praktik yang mereka lawan.

Sementara itu, di sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengimbau pemerintah daerah untuk tegas memberantas pungli di destinasi wisata. Praktik ini tidak hanya merugikan wisatawan tetapi juga menghambat potensi ekonomi lokal dan mencoreng citra pariwisata Indonesia

Di bidang pendidikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Pinrang mendukung polisi mengusut kasus dugaan pungli kenaikan pangkat bagi guru. Sistem pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter dan integritas generasi penerus bangsa, justru terlibat pada praktik pungli yang tidak mencerminkan sistem pendidikan itu sendiri.

Hal ini menegaskan praktik pungutan liar telah merasuki berbagai lapisan masyarakat dan sektor ekonomi di Indonesia, menciptakan tantangan yang kompleks dan multidimensi. Fenomena ini tidak hanya mengganggu tatanan sosial, tetapi juga menghambat proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pungli telah menjadi semacam 'tradisi' yang tidak tertulis, seringkali dianggap sebagai bagian dari 'biaya tambahan' dalam berbagai transaksi dan layanan. Keberadaan pungli tersebut mencerminkan masalah yang lebih dalam terkait sistem sosial dan ekonomi yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan posisi untuk keuntungan pribadi.

Dalam konteks kewarganegaraan, pungli mencerminkan ketidakadilan sosial dan pelanggaran hak-hak warga negara yang seharusnya mendapatkan pelayanan publik yang adil dan tanpa dikenakan pungutan tidak resmi. Pungli bukan hanya sekedar masalah korupsi individu; ia merupakan cerminan dari sistem yang gagal memberikan jaminan keadilan sosial bagi warganya. Ketika warga negara harus membayar lebih untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka, maka konsep kewarganegaraan itu sendiri menjadi terancam. Teori kewarganegaraan yang dikembangkan oleh T.H. Marshall menekankan pada hak-hak sipil, politik, dan sosial yang harus dinikmati oleh setiap warga negara. Pungli, sebagai praktik yang merugikan, secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip ini karena menciptakan diskriminasi dan menghalangi akses yang setara terhadap layanan publik. Teori ini menekankan pentingnya kesetaraan di depan hukum, namun praktik pungli menunjukkan bahwa realitas yang ada jauh dari ideal. Pungutan liar mengikis hak sipil warga negara, ini menunjukkan bahwa tanpa keberadaan hak sipil yang kuat, konsep kewarganegaraan menjadi tidak lengkap dan tidak efektif dalam melawan praktik koruptif seperti pungutan liar.

Andrey Heywood mengemukakan bahwa kewarganegaraan melibatkan hubungan timbal balik antara individu dan negara, yang terdiri dari hak dan kewajiban. Pungutan liar, dalam konteks ini, merupakan pelanggaran terhadap hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik tanpa harus membayar lebih dari yang seharusnya. Fenomena ini mencerminkan kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak warga negara dan menegakkan supremasi hukum.

"Demokrasi sulit dilakukan dalam situasi ketidaksetaraan yang terkonsentrasi di mana mayoritas besar yang miskin berhadapan dengan oligarki kecil yang kaya" (Huntington 1991:66).

Pungli merupakan salah satu bentuk ketidaksetaraan yang paling nyata, di mana warga negara yang tidak mampu membayar 'biaya tambahan' ini akan terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang sama terhadap layanan publik. Heywood menyatakan "kelompok seperti perempuan, etnis minoritas, orang miskin dan pengangguran, umumnya menganggap diri mereka sebagai 'warga negara kelas dua' karena ketidakberuntungan sosial menghalangi partisipasi penuh mereka dalam kehidupan masyarakat". Pungli menambah beban bagi kelompok-kelompok marginal ini, yang sudah menghadapi hambatan untuk partisipasi penuh dalam demokrasi, dengan membuat akses ke layanan publik menjadi lebih sulit.

Dalam konteks negara yang demokratis, konstitusi berperan sebagai fondasi yang menetapkan struktur dan batasan kekuasaan. Dalam perancangannya, konstitusi bertujuan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang adil, beradab, dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Namun, di balik idealisme ini, praktik pungutan liar masih menjadi masalah yang merajalela, pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana konstitusi dan konstitusionalisme dapat mengatasi masalah ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun