Mohon tunggu...
Nadya Nadine
Nadya Nadine Mohon Tunggu... Lainnya - Cepernis yang suka psikologi

Lahir di Banyuwangi, besar di ibu kota Jakarta, merambah dunia untuk mencari sesuap nasi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Awal yang Terakhir

29 Februari 2020   16:50 Diperbarui: 29 Februari 2020   16:50 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pixabay.com)

saat redup buka asma
mengalir bening gelinding do'a
entah apa yang terbayang saat itu
kabut pekat membungkam lorong sempit ;
asa, terpenjara
terhimpit
lama kau jerat sukmaku yang sempoyongan
mengundangku ramah dalam tak berkata
kurajut sutera cinta bersamamu dengan bisu

alam lembut berbisik di ketulianku
tanpa kata terukir janji melingkari jari
telah banyak tanaman mimpi menjadi mati
begitu penjelasan alam memberengut sedih
tapi aku sudah tak perduli lagi
telah terbiasa bagiku
tanaman mati dan kembali tumbuh

nyala kala itu telah menang menari dari dalam terang
gelap malam bertukar siang
kerontang hati telah berkumandang
setelah damai akan ada kembali perang

cinta yang tumbuh
mekar lalu layu
asmara yang mengembang
kini berkerut dalam kelam

lusuh sutera suciku tanpa upacara cuci-mencuci
tak lagi kau turut memilikinya dalam entah
meski kita rajut bersama berdayung seperahu cinta
lupakan sudah menenunnya di gulungan cita-cita
kenistaan di hempas hanya pada Hawa
seperti Adam yang hanya merasa tergoda dan terperdaya
sewaktu di taman surga
negeri triliyunan antah berantah

awal yang terakhir
sekilas cinta hanya mampir
dedemit hangat menyihir

awal yang terakhir
biarlah aku menjadi tong sampah
segala hal terjungkir
atas sisa-sisa ikrar yang berbalik mangkir

kabut tebal semakin suram
aku hanya dapat berucap ;
'selamat tinggal',
'selamat jalan',

kekasih,
pertemuan dan perpisahan
dari dulu ya seperti ini
sudah basi terasa di hati

impian bermunculan, memang
khayalan pun berlalu-lalang
namun hanya dalam sebatas lamunan
yang tak beranjak mendobrak pintu kenyataan
kemudian mengarungi perjalanan
menjadi kenangan di berangkas kesilaman
yang akan membekas dalam

awal yang terakhir
telah ku ucapkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun