Mohon tunggu...
Nadya Aldesta Siahaan
Nadya Aldesta Siahaan Mohon Tunggu... Mahasiswa - @nadyaaldesta

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wanita Memiliki Pilihan

6 Maret 2021   09:08 Diperbarui: 6 Maret 2021   09:16 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seberapa sering Anda mendengar pertanyaan yang ditujukan kepada wanita "Kapan menikah?". Budaya masyarakat khususnya di Asia memiliki penekanan akan anggapan bahwa menjadi wanita sejati itu adalah menikah, memiliki anak dan mengurus rumah tangga. Bahkan seolah diusia 25 tahun merupakan lampu merah bagi seorang wanita untuk segera menikah dan tak jarang wanita menjadi dipermalukan akan hal tersebut. Inilah salah satu fenomena dari keegoisan norma yang ada di masyarakat serta didukung oleh adanya konstruksi media yang berbahaya.

Kementrian Agama menyebutkan bahwa angka perceraian di Indonesia pada bulan Agustus 2020 telah mencapai 306.688 kasus, artinya rata-rata mencapai seperempat dari dua juta jumlah peristiwa nikah dalam setahun. Tekanan tentang pernikahan tentunya mempengaruhi hal ini dimana menikah tanpa adanya kesiapan mental yang matang dan belum stabilnya ekonomi sehingga kita seringkali mendengar kasus KDRT, isu perselingkuhan dan lain sebagainya. Pernikahan tidak bisa dilakukan jika hanya karena tekanan dari masyarakat maupun keluarga yang menginginkan hal tersebut untuk kita lakukan. Namun menikahlah karena kita memang ingin melakukannya.

Oleh karena pandangan yang ada, mengakibatkan wanita menjadi takut untuk mendobrak tentang bagaimana wanita seharusnya berperilaku karena yang akan diterima adalah berbagai kecaman dari orang-orang yang sebenarnya tidak ingin membuat dan mengakui wanita untuk ikut berpengaruh dalam bidang kehidupan apabila tidak menjalankan peran tersebut. Hal ini tentunya bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh sebagian besar wanita. 

Setiap wanita bisa untuk memiliki pilihan kebahagiaan dalam hidupnya. Jika dengan menikah lalu memiliki anak dan mengurus rumah tangga adalah tujuan hidup yang merupakan sumber kebahagiaannya, maka lakukanlah. Jika dengan tidak menikah atau tidak mempunyai anak dan hanya fokus untuk membangun karir terlebih dahulu menjadi sumber kebahagiaan, maka lakukanlah juga. Karena keduanya memiliki esensi yang sama sebagai wanita yang established and complete.

Semakin banyak kesadaran bahwa wanita adalah berharga, luar biasa, pintar, memiliki pekerjaan yang bagus karena menyadari bakat mereka serta semakin banyak masyarakat yang memperlakukan sebagaimana nilai dari wanita yang sebenarnya dan bukan berdasarkan apakah kita sudah menikah maka tentunya akan mengurangi tingkat perceraian, pernikahan yang rusak serta tidak bahagia dan pernikahan yang sedikit dipaksakan.

Saat inilah waktunya masyarakat untuk menormalisasinya dengan memberikan pilihan kepada wanita dan bukan selalu tentang bagaimana yang diinginkan serta apa yang diharapkan masyarakat dari wanita bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang harus dimiliki oleh setiap wanita. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun