Mohon tunggu...
nadiya zulfa
nadiya zulfa Mohon Tunggu... MAHASISWA UNESA BIMBINGAN KONSELING 2024

Lainnya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tuduhan Menjadi Luka: Perkelahian Dua Siswi SMP di Sampit yang Dituduh Tak Perawan!

26 Mei 2025   18:48 Diperbarui: 26 Mei 2025   18:48 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan dua siswi SMP terlibat dalam perkelahian fisik di Bandara H. Asan, Sampit, Kalimantan Tengah, pada 11 April 2025. Awalnya tampak seperti pertikaian biasa antar remaja, namun siapa sangka, akar permasalahannya begitu sangat dalam dan menyakitkan, yaitu ejekan soal keperawanan. Bagi sebagian orang dewasa, mungkin itu dianggap sebagai "drama remaja biasa." Namun bagi kelompok kami, ini adalah potret rapuhnya sistem sosial dan budaya kita yang masih menindas perempuan muda melalui standar moral yang timpang. 

Stigma yang Mendarah Daging

Mengapa tuduhan keperawanan bisa memicu kekerasan? Jawabannya ada pada konstruksi budaya yang masih mengaitkan nilai dan martabat perempuan pada "selaput dara." Dalam pandangan patriarkal, keperawanan bukan sekedar persoalan fisik, tapi simbol kehormatan keluarga, harga diri, bahkan "nilai jual" perempuan. Akibatnya, ketika seorang gadis dituduh tidak perawan, benar atau tidak, rasa malu, marah, dan terhina dapat meledak tanpa kendali. Lebih menyedihkan lagi, masyarakat seakan-akan menormalisasikan standar ini, alih-alih mengkritisinya. 

Kasus ini juga menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap remaja kita. Perkelahian itu terjadi di malam hari, di tempat umum, tanpa campur tangan orang dewasa hingga video itu tersebar luas. Dimana peran orang tua? Dimana pengawasan dari sekolah dan masyarakat? Remaja kita tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, tapi tidak dibekali cukup keterampilan emosional untuk menghadapinya. Alih-alih diajak berdialog, mereka malah lebih sering dijaga secara fisik tapi dibiarkan kosong secara mental.

Media Sosial sebagai Cermin dan Corong Kekerasan

Tak bisa diabaikan, media sosial saat ini memainkan peran besar dalam memperkeruh konflik ini. Ejekan yang dilontarkan secara publik, kemudian disebarluaskan melalui video perkelahian, memperparah trauma korban. Dunia maya menjadi ajang penghakiman massal, bukan ruang edukatif atau suportif. Sayangnya, literasi digital kita masih rendah. Remaja menggunakan media sosial tanpa pemahaman konsekuensi, sementara orang tua dan guru cenderung gagap teknologi. Akibatnya, konflik kecil bisa berubah menjadi tragedi besar.

Saatnya Mengubah Arah

Kasus perkelahian dua siswi SMP di Sampit mencerminkan persoalan serius terkait stigma sosial, khususnya soal keperawanan, yang masih sangat kuat di masyarakat. Tekanan budaya ini menyebabkan konflik emosional yang berujung pada kekerasan fisik. Selain itu, kurangnya pendidikan seksual dan karakter sejak dini, lemahnya pengawasan terhadap aktivitas remaja, serta penyalahgunaan media sosial memperburuk keadaan. Budaya patriarki yang menekan perempuan dan kurangnya kesadaran gender semakin menambah beban psikologis remaja.

Kita perlu berhenti menganggap kasus seperti ini sebagai "urusan anak-anak." Ini adalah alarm keras yang memanggil kita (orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas) untuk mengambil sikap. Karena yang kita butuhkan bukan hanya kurikulum, tapi pendidikan karakter dan seksual yang menyeluruh. Remaja perlu tahu bahwa tubuh mereka bukan alat ukur harga diri. Bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan. Bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh mitos, tapi oleh nilai dan tindakan. Kita juga butuh pengawasan yang hadir, bukan hanya sekadar mengontrol. Orang tua harus membangun relasi yang hangat dan terbuka dengan anak-anak. Sekolah perlu jadi ruang aman, bukan sekadar institusi akademik. Dan, yang terpenting, mari kita berani melawan budaya yang masih menilai perempuan dari apa yang hilang dari tubuhnya, bukan dari apa yang tumbuh dalam pikirannya.

Peristiwa di Sampit hanyalah satu dari banyak kasus yang tidak terekam kamera. Banyak remaja perempuan lain memendam luka serupa, dalam diam. Sebelum luka-luka itu menjadi bom waktu, marilah kita ubah cara memandang, mendidik, dan mendampingi generasi muda. Karena pada akhirnya, harga diri seorang anak tidak boleh ditentukan oleh tuduhan yang tak berdasar apalagi yang menyayat.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi web https://bk.fip.unesa.ac.id/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun