Mohon tunggu...
Nadiya Putri Rusjdi
Nadiya Putri Rusjdi Mohon Tunggu... @narichifleur

Saya adalah seorang event styling, floral stylist, sekaligus penulis reflektif. Lewat platform Narichifleur, saya menciptakan dekorasi bunga yang tak sekadar indah, tapi juga menyentuh sisi emosional manusia. Hobi saya menulis, menyusun rangkaian bunga, dan membangun ruang healing untuk perempuan yang ingin bangkit dengan cara yang lembut namun berdaya. Topik favorit saya meliputi: refleksi diri, kehidupan ibu tunggal, healing lewat seni dan simbolisme bunga, spiritualitas praktis, hingga self-design dengan teknologi. Saya percaya bahwa setiap cerita perempuan, sekecil apa pun, layak didengar. Kompasiana adalah ruang saya untuk berbagi serpihan proses, pelajaran, dan harapan agar siapa pun yang membaca tahu bahwa ia tidak sendirian. Mari berproses hingga mendapatkan hasil akhir kehidupan yang indah, sebagaimana merangkai bunga satu persatu, untuk kemudian menjadi satu rangkaian akhir yang indah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Marah Boleh, Anarki Jangan: Belajar dari Penjarahan Rumah Anggota DPR

30 Agustus 2025   23:00 Diperbarui: 31 Agustus 2025   14:06 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flower for Peace of Indonesia @narichifleur

Ketika kekuasaan kehilangan empati, ia akan dipandang bukan lagi sebagai pelindung, melainkan musuh. Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, lahirlah amarah yang mencari sasaran. Tapi hari-hari ini, saya teringat pada cermin terbalik dari kalimat itu: bahwa amukan massa tanpa kendali juga bisa melahirkan korupsi moral bersama. Saat menjarah dianggap lumrah, kita kehilangan batas. 

Rakyat Boleh Marah, Tapi...

Marah itu manusiawi. Bahkan marah bisa menjadi bahan bakar perubahan. Tetapi anarki bukan jawaban. Penjarahan mungkin memuaskan sesaat, tapi ia justru memberi alasan bagi penguasa untuk menstigma rakyat sebagai "perusuh", bukan "penyampai aspirasi".

Indonesia punya sejarah panjang demonstrasi damai yang mengubah arah bangsa: 1998 misalnya, ketika jutaan mahasiswa turun ke jalan menuntut reformasi. Meski ada chaos di beberapa titik, kekuatan utama gerakan itu lahir dari keberanian menyuarakan kebenaran secara kolektif, bukan dari perusakan atau penjarahan.

Jalan Damai: Bunga di Tengah Api

Bayangkan bangsa ini seperti sebuah taman. Ada bunga, ada duri. Ada tanah subur, ada rumput liar. Saat rakyat marah, jangan biarkan mereka membakar seluruh taman. Sebab setelah api padam, yang tersisa hanya abu.

Yang kita butuhkan sekarang adalah ruang dialog yang nyata, bukan basa-basi. Wakil rakyat harus turun ke akar rumput, mendengar langsung jeritan rakyat, bukan hanya lewat laporan formal.

Indonesia sedang berada di titik rawan, antara perubahan dan kehancuran. Kita bisa memilih menjadi bangsa yang mengubah kemarahan menjadi energi politik, energi kebersamaan, energi untuk menuntut perbaikan lewat cara yang bermartabat. Atau kita memilih jalan pintas yang penuh amarah, tapi meninggalkan jejak luka yang panjang.

Sejarah dunia sudah berkali-kali membuktikan: revolusi yang lahir dari amukan tanpa visi, hampir selalu jatuh pada lingkaran baru penindasan. Sebaliknya, gerakan rakyat yang berakar pada disiplin moral, justru lebih sulit dipatahkan, lebih tahan lama, dan lebih didengar dunia.

Maka mungkin, hari ini kita perlu mengingat satu kalimat sederhana:

Marah boleh. Menjarah jangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun