Ketika kekuasaan kehilangan empati, ia akan dipandang bukan lagi sebagai pelindung, melainkan musuh. Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, lahirlah amarah yang mencari sasaran. Tapi hari-hari ini, saya teringat pada cermin terbalik dari kalimat itu: bahwa amukan massa tanpa kendali juga bisa melahirkan korupsi moral bersama. Saat menjarah dianggap lumrah, kita kehilangan batas.Â
Rakyat Boleh Marah, Tapi...
Marah itu manusiawi. Bahkan marah bisa menjadi bahan bakar perubahan. Tetapi anarki bukan jawaban. Penjarahan mungkin memuaskan sesaat, tapi ia justru memberi alasan bagi penguasa untuk menstigma rakyat sebagai "perusuh", bukan "penyampai aspirasi".
Indonesia punya sejarah panjang demonstrasi damai yang mengubah arah bangsa: 1998 misalnya, ketika jutaan mahasiswa turun ke jalan menuntut reformasi. Meski ada chaos di beberapa titik, kekuatan utama gerakan itu lahir dari keberanian menyuarakan kebenaran secara kolektif, bukan dari perusakan atau penjarahan.
Jalan Damai: Bunga di Tengah Api
Bayangkan bangsa ini seperti sebuah taman. Ada bunga, ada duri. Ada tanah subur, ada rumput liar. Saat rakyat marah, jangan biarkan mereka membakar seluruh taman. Sebab setelah api padam, yang tersisa hanya abu.
Yang kita butuhkan sekarang adalah ruang dialog yang nyata, bukan basa-basi. Wakil rakyat harus turun ke akar rumput, mendengar langsung jeritan rakyat, bukan hanya lewat laporan formal.
Indonesia sedang berada di titik rawan, antara perubahan dan kehancuran. Kita bisa memilih menjadi bangsa yang mengubah kemarahan menjadi energi politik, energi kebersamaan, energi untuk menuntut perbaikan lewat cara yang bermartabat. Atau kita memilih jalan pintas yang penuh amarah, tapi meninggalkan jejak luka yang panjang.
Sejarah dunia sudah berkali-kali membuktikan: revolusi yang lahir dari amukan tanpa visi, hampir selalu jatuh pada lingkaran baru penindasan. Sebaliknya, gerakan rakyat yang berakar pada disiplin moral, justru lebih sulit dipatahkan, lebih tahan lama, dan lebih didengar dunia.
Maka mungkin, hari ini kita perlu mengingat satu kalimat sederhana:
Marah boleh. Menjarah jangan.