Selama dua periode kepemimpinan (2014-2024), Presiden Joko Widodo ("Jokowi") dibangun citra publik yang  mendalam dengan kesan sederhana dan merakyat. Konsep kepemimpinan yang relatif "tanpa protokol" dan kebiasaan blusukan ke lapangan memberikan kesan bahwa Jokowi adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat biasa. Hal ini tampak sejak Pilkada Solo dan Pilkada Jakarta, studi menunjukkan ia dikenal sebagai tokoh "populer yang merakyat, sederhana, dan terkesan bekerja secara tulus". Bahkan sebelum menjadi Presiden ia sudah "menginang citra positif sebagai seorang yang sederhana dan pro rakyat". Citra ini dianggap sebagai faktor penting kemenangan politiknya. Dalam survei mahasiswa, Jokowi disebut memiliki citra pro rakyat dan sederhana yang membuat publik terpesona pada awal-awal kepemimpinannya. Namun, bersamaan dengan reputasi positif itu muncul pula kekhawatiran apakah beliau sanggup memimpin Indonesia ke arah yang lebih baik, mencerminkan jurang antara citra dan realitas kebijakan.
Pendekatan sistem dinamik membantu menganalisis interaksi kompleks dibalik strategi pencitraan tersebut. Menurut perspektif populisme visual (visual populism), pemimpin populis modern mengunggulkan simbol-simbol kedekatan emosional. Moffitt menyebut, kampanye bergaya visual menekankan "pelayanan, kesederhanaan, dan kedekatan" dengan rakyat. Jokowi menggunakan narasi visual ini, misalnya pakaian batik sederhana, sepatu murah, atau aksi blusukan sebagai sinyal kesederhanaan. Dalam konteks dinamika sistem, pencitraan sederhana Jokowi berperan sebagai umpan balik positif, citra dekat dengan rakyat meningkatkan kepercayaan publik, yang kemudian memperkuat citra positifnya di media. Kurniasih (2020) menemukan bahwa citra "membumi" Jokowi dengan sifat kesederhanaan secara konsisten dibangun dalam media sosial. Artinya, output citra sederhana menjadi input yang memperkuat dukungan publik (loop umpan balik). Pendekatan ini menyadari adanya umpan balik saling mempengaruhi antara kesan politik, media, dan persepsi rakyat.
Dalam dinamika politik Indonesia, strategi pencitraan sederhana Jokowi saling terkait dengan faktor politik, sosial, media, dan ekonomi. Secara politik, Jokowi memposisikan diri sebagai sosok outsider yang melawan elit tradisional, misalnya ia memperlihatkan diri bebas dari dinasti politik atau bisnis besar. Pendekatan ini memperkuat reputasi pro-rakyat, sehingga memperluas basis dukungan. Ia bahkan menarik aliansi luas lewat pendekatan koalisi dan pembagian kekuasaan, yang didukung oleh popularitasnya. Sulaiman (2023) mencatat bahwa dengan citra sebagai outsider, Jokowi berhasil memaksimalkan kekuasaannya untuk program infrastruktur besar sekaligus meraih persetujuan publik yang tinggi (rating sekitar 70%). Ia menggunakan kepercayaan publik yang terbentuk dari citra kesederhanaan untuk mempertahankan proyek-proyek kerakyatan.
Secara sosial dan ekonomi, faktor budaya penghargaan terhadap kepemimpinan rendah hati di Indonesia memperkuat strategi ini. Tradisi "pemimpin merakyat" memiliki resonansi kuat bagi masyarakat yang lelah dengan korupsi atau nepotisme. Media massa dan media sosial kemudian menjadi saluran utama menyebarkan citra tersebut, sebagai contoh, foto Jokowi berbaju sederhana beredar luas, sehingga mempengaruhi persepsi publik. Demokrasi dalam konteks ini menerima atau bahkan menghargai kepemimpinan semacam itu. Namun dalam perspektif sistemik, perhatian berlebihan pada citra menyederhanakan masalah politik seperti aspek kebijakan dan institusi kadang terabaikan karena fokus publik tertuju pada persona pemimpin.
Dampaknya terhadap kualitas demokrasi dan kepercayaan publik bersifat ambivalen. Di satu sisi, strategi kesederhanaan memperkuat kepercayaan rakyat terhadap Jokowi sendiri, survei menunjukkan tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah mencapai puncak selama era Jokowi. Kepopulerannya menciptakan stabilitas politik dalam jangka pendek dan menangguhkan konflik institusional yang mungkin terjadi. Namun, studi lain mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia menghadapi tantangan yaitu kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi menurun dan prosedur checks and balances melemah. Pepinsky (2024) mengingatkan bahwa dominasi presiden populer seringkali beriringan dengan "dwindling confidence" dalam institusi politik dan peradilan, yang mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi. Jokowi sendiri telah dituduh melemahkan lembaga antikorupsi dan melibatkan militer dalam pemerintahan, tanda-tanda yang membuat sebagian akademisi menyebut era Jokowi sebagai masa kemunduran demokrasi. Dengan kata lain, walaupun reputasi sederhana mempererat kepercayaan individu kepada presiden, kepercayaan publik jangka panjang kepada sistem politik bisa terganggu apabila loyalitas terpusat pada figur tunggal.
Dalam kerangka sistem dinamik, masalah ini dapat dianalisis lewat pola umpan balik, citra sederhana memperkuat dukungan politik, tapi potensi "perilaku melebihi norma" bisa muncul jika mekanisme kontrol lemah. Misalnya, ketergantungan media pada narasi visual bisa menciptakan spiral positif bagi persepsi tanpa adanya evaluasi kritis. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan adalah mengedepankan penguatan institusi dan literasi media, menciptakan umpan balik negatif yang menyeimbangkan fenomena pencitraan. Media massa dan masyarakat harus tetap mengawasi kebijakan publik secara substansial, bukan hanya penampilan. Institusi demokrasi harus dikuatkan agar presiden tidak hanya bergantung pada popularitas visual. Sebagaimana dicatat para teoritikus politik, kekuasaan sesungguhnya dalam demokrasi tumbuh dari kerjasama dan konsensus publik, bukan dari figur dominan tunggal yang tampil istimewa. Maka, menjaga kualitas demokrasi mengharuskan agar kepemimpinan "merakyat dan sederhana" bukan sekedar simbol, melainkan dipadukan dengan akuntabilitas, transparansi, dan dialog politik yang terbuka.
 Secara keseluruhan, strategi pencitraan 'kesederhanaan' Jokowi menciptakan jaringan dinamis antara citra pribadi, harapan sosial, media, dan kekuatan politik. Citra sederhana itu memberikan keunggulan elektoral dan legitimasi publik, tetapi juga menantang kualitas demokrasi jika tidak diimbangi institusi kuat. Analisis sistem dinamik menegaskan pentingnya melihat fenomena ini sebagai interaksi timbal balik supaya demokrasi sehat, diperkukan mekanisme pemantau dan umpan balik negatif yang menguatkan akar kepercayaan publik pada sistem, bukan hanya pada figur pemimpin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI