Mohon tunggu...
Rasesa
Rasesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis adalah suatu bentuk dari pengarsipan ilmu kita dimasa mendatang.

Hidup itu indah apabila kita mensyukuri apa yang ada di kehidupan kita.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Ogoh-ogoh di Senduro Lumajang

20 Desember 2021   11:58 Diperbarui: 22 Juni 2022   23:25 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawai Ogoh-ogoh di Lumajang. Sumber image : Visit Lumajang.

Awal mula terciptanya Seni Ogoh-ogoh, yang membayangkan individualitas Boota Kara. Agama Hindu sendiri menyatakan bahwa ini adalah Boo alam semesta dan waktu (Kara) yang tak terbantahkan. Dia juga digambarkan sebagai orang tinggi dengan aura negatif yang ada pada manusia. Ogohogoh sendiri berasal dari kata Bali Ogah-ogoh, yang berarti seperti gemetar, dan Ogoh-ogoh adalah festival yang biasanya dirayakan pada hari raya Nyepi.

Ogoh-ogoh Awalnya terbuat dari rajutan bambu yang diperkuat kayu, namun terasa berat dan agak sulit untuk membuat variasi yang berbeda, lama kelamaan Ogoh-ogoh dibuat dari gabus atau steroom. Ada juga kera seperti serigala. Bahkan hari ini, di era modern beberapa orang menyerupai artis dan aktor tertentu, seperti yang mereka lakukan hari ini. Ada banyak kesenian Ogoh-ogoh di Indonesia, namun yang terbesar dan pertama ada di Bali. Karena mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, maka sekitar tahun 1983 Presiden menetapkan Hari Raya Nyepi sebagai hari libur nasional. Oleh karena itu, diperlukan sebuah festival nantinya untuk membentuk kesenian Ogoh-ogoh..

Tradisi asal Bali ini kemudian merambah ke kota yang lain di Indonesia,. Seperti  di salah satu kota di Jawa Timur yaitu Lumajang.Awal mula adanya seni ogoh-ogoh di Lumajang yaitu sejak tahun 90-an tepatnya di daerah senduro yang mana disana ada sekitar 30% penduduknya beragama Hindu. Adanya perayaan ini di Lumajang karena  terinspirasi dari peryaan yang bermula dari kota Bali.sehingga timbullah keinginan untuk juga berpartisipasi dan meramaikan Hari Raya Nyepi dengan mengadakan peragaan seni ogoh-ogoh tersebut. Senduro sendiri merupakan salah satu daerah yang kaya akan budaya di daerah Lumajang. Pada dasarnya, budaya yang ada di Senduro dikategorikan sebagai suatu kecamatan yang masih kental akan suatu kebudayaan yang mewakili baik nilai agama (Hindu) maupun estetika (seni). Contohnya adalah Parade Ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh yang ada didaerah senduro sama dengan Ogoh-ogoh yang ada di bali

Menurut bapak Sukardi selaku dukun (pemangku agama hindu) disana, Ogoh-ogoh akan diarak dan dibawa keliling desa, dan sebelum dilakukan pengarakan Ogoh-ogoh terlebih dahulu dilakukan ritual yang mana tujuannya memasukkan roh-roh jahat kedalam wujud Ogoh-ogoh, dan memang setelah dilakukan ritual tersebut Ogoh-ogoh menjadi lebih berat, suatu ketika karena sebuah alasan pernah salah satu Ogoh-ogoh tidak dibakar, dan ternyata banyak warga yang dijumpai kepala tanpa badan yakni Ogoh-ogoh yang tidak dibakar tadi, warga menjadi ketakutan dan akhirnya ogoh-ogoh tersebut dibakar. Tujuan pembakaran adalah agar roh-roh jahat ataupun unsur-unsur negatif yang ada di Ogoh-ogoh tersebut nantinya akan dibakar dan abu pembakaran tersebut di buang kedalam sungai, sebagai bentuk penghangusan atau pembakaran unsur-unsur negatif tersebut.

Di Lumajang sendiri pembutannya itu dari besi dan rotan sebagai kerangka badan ogoh-ogoh dan kulitnya itu terbuat dari kulit kelapa yang dikeringkan, dari kain yang di cat atau langsung dari gabus yang di cat, lalu dipasangkan. Kepala,tangan dan kaki  terbuat dari sterofom.Dulunya sebelum membuat sendiri ,warga Hindu disana membeli Ogoh-ogoh dari Bali dengan harga kisaran 10-20 juta lebih.Karena dirasa banyak biaaya yang harus dikeluarkan jika membeli dan memesan dari Bali sehingga warga disana memilih alternatif untuk membuat sendiri selain harganya lebih ekonomis karena  berasal dari swadaya masyarat sekitar juga bisa membuat sesuai dengan karakter yang diinginkan.

Biasanya hari sebelum Hari raya Nyepi dari daerah Pasujambi,tengger itu berkumpul di satu titik yaitu di Pura.Biasanya penduduk yang memperagakan hal tersebut harus mengambil undian untuk menentukan kelompok mana yang jalan lebih dulu dan begitu selanjutnya sampai urutan yang terahir. Seperti halnya di Bali, di Senduro peragaan Ogoh-ogoh itu juga di Arak mulai dari titik kumpul (Pura) dibawa keliling memutari Pura tersebut.begitupun juga sama halnya di Bali setelah acara pengarakan Ogoh-ogoh tersebut  akan dibakar sebagai bentuk penghapusan dan penghilangan roh-roh jahat atau unsur-unsur negativ yang dulunya dibuang di Kali  Ireng/Lembah Hitam di daerah Pasrujambi.Namun sekarang tempat pembakaran Ogoh-ogoh tersebut dipindahkan ke belakang Pura dikarenakan banyaknya Limbah sisa pembakaran tersebut di Lembah Hitam itu

Dalam suatu penuturan dukun mengatakan "dulu waktu selesai pembakaran biasanya dibuang di kali ireng/lembah hitam di daerah perbatasan pasrujambe dan senduro. Namun karena pernah terjadi banjir jadinya kami mengadakan suatu musyawarah guna membahas hal tersebut. Dan sewaktu habis acara dibuang dikali ireng akhirnya disitu manambah hal mistis karena lembah hitam/kali sendiri itu seperti ditengah hutan. Belum lagi pernah kejadian salah satu kepala Ogo-ogoh hidup atau menghantui masyarakat sekitar dikarenakan kepala tersebut tidak dibakar, nah akhirnya semenjak kejadian itu pula akhirnya setiap Ogoh-ogoh selalu dibakar."

Semenjak Indonesia dihantam oleh adanya Virus Covid-19, masyarakat sempat membuat Ogoh-ogoh untuk persiapan Hari Raya Nyepi.Namun hal itu tidak terealisasi dikarenakan pemerintah membuat Kebijakan Lockdown sehingga membuat tidak diperbolehkannya peragaan ogoh-ogoh lagi ditakutkan warga setempat terpapar virus corona.hal iut membuat  warga setempat merasa Hari raya Nyepi di tahun itu  sangat sepi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,tidak ada lagi peragaan Ogoh-ogoh yang dilakukan.

Sebelum adanya Covid biasanya ada ritual tertentu yang di khususkan untuk  ogoh-ogoh yang akan diarak yang nantinya ogoh-ogoh tersebut dipercayai bisa hiup dan menyerap energi-energi negatif di desa tersebut yang kemudian dibakar sebagai doa penutup.Namun karena adanya covid19 masyarakat dituntut untuk jaga jarak sehingga acara-acara pada hari Nyepi bagi masyarakat Hindu  hanya bisa melakukan ritual seperti berdoa di daerah Ranupane atau di pantai selatan yang terletak di daerah Pasirian.Sehingga begitulah dampak dari adanya pandemi yang membuat masyarakat umat Hindu yang biasanay beramai-ramai menyambut hari raya Nyepi namun ssemenjak pandemi semuanya seperti hilang seolah-seolah Hari Raya Nyepi  terasa seperti hari-hari biasanya.

Nadhifrasesa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun