Mbah Maridjan wafat dalam tugas. Beliau ditemukan kaku dalam posisi sujud di ruang belakang rumahnya. Tak diragukan lagi, Mbah Mardijan wafat dalam menjalankan pengabdian dan tugas.
Tak mudah memahami apa tugas Mbah Maridjan dan kepada siapa beliau mengabdikan diri menjalankan amanah. Kita hanya tahu bahwa beliau 'menjabat' sebagai Juru Kunci Gunung Merapi mengemban amanat dari Sultan Hamengkubuwono IX. Jabatan yang tidak ada dalam nomenklatur pemerintahan daerah, apa lagi dalam jajaran institusi kenegaraan. Jabatan juru kunci bukanlah jabatan formal, bukan pula kedudukan terhormat dalam protokoler pemerintahan. Sebelum Gunung Merapi berulah pada tahun 2006, Mbah Maridjan dan jabatannya bukanlah apa-apa. Ia hanya seorang pengabdi yang tak dikenal dan tak pernah disebut. Mbah Mardijan kemudian terkenal karena sikapnya yang kukuh tidak mau mengungsi ketika Gunung Merapi berstatus awas.
Ucapan Mbah Maridjan yang terus mengiang di telinga saya ketika beliau tidak mau turun mengungsi sekalipun Sri Sultan Hamengkubuwono X telah memerintahkan mengungsi, kira-kira bunyinya begini:"Saya diperintah oleh Sri Sultan dan saya hanya patuh pada Sri Sultan, saya bukan diperintah oleh Gubernur". Begitulah Mbah Maridjan menjelaskan alasan "pembangkangannya". Saya menganggap bahwa penjelasan Mbah Maridjan ini adalah penjelasan yang jenius terhadap posisi dilematis Kesultanan Yogyakarta. Mbah Marijan memisahkan dengan tegas sekaligus mengkompromikan wibawa kultural keraton dan wibawa pemerintahan dengan status propinsinya.
Pemerintahan modern berkewajiban melindungi rakyatnya dan untuk wilayah pemerintahan Yogyakarta hal itu dilakukan di bawah perintah Gubernur. Pemerintahan kultural yang eksistensinya masih sangat kuat di alam batin mayoritas rakyat Yogyakarta tetapi dicoba diingkari secara diam-diam oleh banyak pihak, ditegaskan eksistensinya oleh Maridjan. Mbah Maridjan menegaskan eksistensi kultural tersebut dengan mengatakan hanya tunduk pada perintah Sultan. Menurut saya inilah tersirat dari penjelasan Mbah Maridjan yang sesungguhnya, walau banyak pihak justru menganggap bahwa ucapan Mbah Maridjan tersebut mendelegitimasi peran kesultanan Sri Sultan Hamengkubuwonon X.
Kita semua tahu bahwa Mbah Maridjan menjadi penjaga gunung merapi atas amanah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pengabdian Mbah Mardijan adalah amanah yang terpaut erat dengan nilai-nilai kultural keraton Yogyakarta. Pengabdian yang dilandasi dengan keyakinan. Karena keyakinan akan amanah inilah yang menghantarkan Mbah Maridjan berbulat hati menjalankan tugas dan perannya, bahkan sampai dijemput maut.
Entah apa yang dilakukan Mbah Maridjan sehari-hari dalam menjalankan perannya sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Apakah beliau mengamati gejala perubahan dan memonitor dengan caranya sendiri perkembangan perilaku vulkanik Gunung Merapi? Apakah Mbah Maridjan menjaga agar Gunung merapi tak sampai menyemburkan laharnya ke Keraton Yogyakarta? Entahlah, kita tak pernah bisa mendapatkan catatan daftar tugas dan Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Mbah Maridjan dalam jabatannya sebagai Juru Kunci Gunung Merapi. Beliau sendiri tak pernah merinci apa tugasnya, kecuali mengatakan bahwa beliau mendapat amanah dari alm Sultan Hamengkubuwono IX.
Akan tetapi sebagian besar masyarakat menganggap bahwa Mbah Maridjan punya kedigdayaan dan kesaktian. Seakan-akan Mbah Maridjan adalah pemegang kunci meletus tidaknya Gunung Merapi. Mbah Maridjan disamakan dengan pawang hujan yang punya kesaktian untuk menurunkan hujan atau menghalau hujan dan menggantikan dengan terik. Mbah Maridjan dipahami sebagai pawang penjinak hewan liar yang ganas.
Ya... kita semua memahami perannya sebagai pawang yang berbekal ilmu kesaktian. Sehingga banyak pihak terperangah ketika Mbah Maridjan justru tewas disapu lahar panas Gunung Merapi. Mungkin ada pula yang mencibir dan bergumam: 'inilah buah kepercayaan pada tahayul'. Mungkin ada yang kecewa mendapati kenyataan bahwa Mbah Maridjan ternyata tak sakti mandraguna menghadapi bahaya Gunung Merapi. Namun bagi saya, Mbah Maridjan telah menggenapi amanah yang diembannya hingga di ujung hayatnya.
Mbah Maridjan wafat dalam tugas yang penuh misteri bagi banyak orang. Ia telah menunaikan seluruh pengabdinnya tanpa pamrih, tanpa perlu diketahui dan tanpa hasrat untuk dipahami banyak orang. Ia telah mengabdikan dirinya dengan sepenuh-penuhnya pengabdian dan keyakinan serta dengan sepenuh-penuhnya ikhlas. . Mbah Maridjan adalah refleksi keikhlasan pengabdian. Karena itu beliau adalah pahlwan. Mbah Maridjan adalah Pahlawan Merapi.
Jadi, bagi para tuan yang masih senang berdebat tentang sosok pahlawan nasional renungkan dan hayatilah cara pengabdian dan keikhlasan Mbah Maridjan.***
Tulisan Para Sahabat Yang Perlu dibaca: