Oleh:
Nabil Zulkarnain (B1A124022)
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jambi
Pendahuluan
Laut bukan hanya hamparan biru yang membentang di antara pulau-pulau Indonesia, melainkan ruang hidup, ruang ekonomi, dan ruang kedaulatan bangsa. Sejak Deklarasi Djuanda 1957 dan diperkuat melalui ratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, Indonesia menetapkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagicstate) dengan hak penuh atas laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), hingga landas kontinen. Dengan luas laut mencapai 6,4 juta km², wilayah maritim Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. 2 Namun, besarnya wilayah tidak otomatis menjamin kedaulatan; ia justru menghadirkan serangkaian tantangan mulai dari pelanggaran wilayah, sengketa batas maritim, hingga eksploitasi sumber daya secara ilegal. Di sisi lain, potensi ekonomi biru (blue economy), jalur perdagangan strategis, dan kekayaan biodiversitas menjadikan laut Indonesia sebagai sumber masa depan. Artikel ini menelaah dua sisi mata uang tersebut tantangan dan peluang dengan menempatkan konflik Laut Natuna Utara sebagai studi kasus utama.
Pembahasan
Tantangan Utama dalamn Pengelolaan Wilayah Laut Indonesia
Tantangan pertama adalah pencurian ikan dan pelanggaran wilayah oleh kapal asing, terutama yang tergolong Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Kerugian ekonomi akibat praktik ini diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah per tahun, terutama di perairan Natuna, Arafura, dan Sulawesi.3 Kapal asing yang memasuki wilayah ZEE Indonesia sering kali dilindungi oleh coast guard negara asalnya, sehingga persoalan ini tidak hanya menjadi isu perikanan, tetapi juga menjadi konflik kedaulatan.Keamanan maritim dan kebebasan navigasi vs hak kedaulatan negara pesisir
Kedua, belum tuntasnya delimitasi batas maritim dengan negara tetangga. Meski Indonesia telah menyelesaikan sebagian besar batas laut dengan Malaysia, Singapura, India, dan Filipina, sejumlah titik masih tumpang tindih, terutama di Laut Sulawesi, Selat Malaka, dan terutama Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan klaim historis Tiongkok. 4 Ketidakjelasan batas ini berpotensi memunculkan gesekan diplomatik maupun konfrontasi di lapangan. Fragmentasi hukum laut: dari norma global ke solusi regional keuntungan dan kelemahan
Tantangan ketiga adalah minimnya kemampuan pengawasan dan penegakan hukum. Dengan wilayah laut yang begitu luas, armada patroli Indonesia masih terbatas, baik dari segi jumlah kapal, sistem radar, maupun koordinasi antar-instansi seperti TNI AL, KKP, Bakamla,dan Polairud. 5 Pengawasan berbasis satelit (maritime domain awareness) masih belum sepenuhnya terintegrasi, sehingga celah pelanggaran masih sering terjadi.