Mohon tunggu...
Nabilla Khuzaima
Nabilla Khuzaima Mohon Tunggu... Universitas Ahmad Dahlan

Saya adalah seorang mahasiswa aktif di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dengan semangat tinggi dalam mengembangkan diri baik di bidang akademik maupun non-akademik. Saya memiliki hobi membaca buku dan bernyanyi, saya tidak hanya fokus pada pencapaian akademis, tetapi juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi, kepanitiaan, dan komunitas yang mendukung pertumbuhan intelektual dan sosial saya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahasa Sebagai Kesepakatan Simbolik dan Alat Pikir Dalam Filsafat Plato

21 Juli 2025   21:38 Diperbarui: 21 Juli 2025   21:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa merupakan sistem bunyi yang bersifat arbitrer atau tidak memiliki kaitan langsung dengan objek yang dirujuknya. Karena sifatnya itu, dibutuhkan kesepakatan bersama atau konvensi agar makna yang ingin disampaikan bisa diterima secara seragam oleh penutur dalam suatu komunitas. Misalnya, dalam penamaan angka yang sangat besar, seperti “satu juta” atau “miliar”, kata-kata tersebut tidak secara langsung mencerminkan jumlah aslinya, melainkan terbentuk melalui kesepakatan agar tetap efisien dan praktis digunakan dalam komunikasi.

Pemahaman bahwa bahasa adalah simbol yang dipilih secara bebas dan disepakati ini juga memperlihatkan bahwa bahasa bukan sesuatu yang lahir dari hubungan alamiah dengan realitas. Misalnya, penggunaan kata "matahari" untuk menyebut benda langit yang memberi terang pada siang hari, adalah hasil dari kebiasaan sosial dan bukan karena kata itu berasal dari sifat alamiah objeknya. Demikian pula ketika menyebut “dua juta” jenis tumbuhan, kita menggunakan kata-kata yang sudah diatur secara konvensional untuk mewakili realitas kuantitatif.

Dalam karya filsuf Yunani kuno, Plato, elemen konvensi bahasa ini mendapat perhatian khusus. Melalui dialog “Cratylus”, Plato mengakui bahwa bahasa mengandung unsur kesepakatan sosial. Ia memandang kata-kata sebagai alat yang diciptakan oleh manusia, dan seperti alat lainnya, harus dirancang dengan memperhatikan fungsinya. Maka dari itu, pencipta kata tidak hanya dituntut memahami struktur suara, tetapi juga makna yang ingin disampaikan.

Plato juga menegaskan bahwa kata-kata bukanlah cerminan sempurna dari objeknya. Ia mengkritisi bahwa etimologi atau asal-usul kata tidak selalu bisa dijadikan dasar pengetahuan yang pasti. Bahasa, menurutnya, memang mampu menandakan sesuatu, tetapi tidak menjamin bahwa tanda itu sepenuhnya merepresentasikan kebenaran realitas. Maka, bahasa perlu dipahami dalam konteks fungsional dan filosofis, bukan hanya semantik belaka.

Filsafat Plato juga menyentuh hubungan antara bahasa dan proses berpikir. Dalam praktik dialektika yang diperkenalkan melalui dialog-dialognya, seperti “Apology” dan “Phaedrus”, bahasa menjadi alat untuk menyelidiki kebenaran melalui tanya-jawab. Bahkan ketika seseorang berpikir dalam dirinya sendiri, ia sebenarnya sedang berdialog batin – bertanya dan menjawab secara internal – untuk mencapai pemahaman.

Dalam analisis tata bahasa, Plato membedakan antara “nama” (noun) dan “tindakan” (verb), dan menganggap nama memiliki kekuatan untuk memberi makna dan merujuk pada realitas. Nama tidak hanya mengidentifikasi benda, tetapi juga mengandung konsep yang menghubungkan pikiran manusia dengan dunia luar.

Di sisi lain, Plato mengkritisi komunikasi tertulis yang dianggapnya tidak seefektif komunikasi lisan. Tulisan dianggap sebagai bentuk tiruan yang tidak mampu berinteraksi secara langsung. Berbeda dengan retorika lisan yang memungkinkan dialog, klarifikasi, dan pertukaran makna secara aktif. Dalam dialog “Phaedrus”, Socrates menekankan bahwa kata-kata yang hidup adalah yang tercetak di jiwa dan tahu kapan harus berbicara serta kapan harus diam.

Tujuan Plato dalam mendirikan Akademinya adalah untuk membimbing manusia mencari kebenaran, bukan hanya dengan menghafal informasi, tetapi dengan berpikir kritis membedakan mana yang fakta dan mana yang opini. Maka dari itu, penting bagi masyarakat modern, termasuk pemerintah dan ilmuwan, untuk menyampaikan informasi ilmiah secara lisan dan kontekstual, melalui media yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Walau kadang sulit untuk merumuskan posisi pasti Plato, warisan pemikirannya sangat berpengaruh dalam berbagai bidang ilmu. Bahasa, menurut Plato, adalah pilar utama dalam berpikir dan memahami realitas. Ia bukan sekadar alat untuk menyampaikan pesan, melainkan juga sarana mendalam untuk menjangkau kebenaran dan membentuk kerangka logika manusia.

Penelusuran terhadap karya “Cratylus” menunjukkan bahwa Plato mengembangkan banyak konsep penting dalam teori bahasa, seperti fungsi penamaan, struktur suara, etimologi, hingga konvensi linguistik. Keseluruhan pandangannya menekankan bahwa bahasa bukan hanya media ekspresi, tetapi juga jembatan utama antara pemikiran manusia dan dunia.

Melalui pandangan filsafatnya, Plato mengajarkan kepada kita bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang sederhana atau sekadar kumpulan kata untuk memberi nama dan arti pada suatu hal. Bahasa, dalam pandangan Plato, jauh lebih dalam dari itu. Ia merupakan sarana utama yang memungkinkan manusia memahami dunia, berpikir secara logis, dan membangun makna dari pengalaman hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun