Saya memiliki salah satu prinsip dalam keluarga yakni family sticks together. Selama satu setengah tahun saya, si kecil Mahira dan suami telah menjalani Long Distance Family (LDF) dan hm..., rasanya saya hanya ingin menjadikan pengalaman itu sebagai yang pertama dan terakhir. Pejuang LDF pasti paham ya rasanya hehe.Â
Jelang tahun ketiga pernikahan ini, beberapa kendala dalam LDF ataupun LDM seperti komunikasi yang serba terbatas, campur tangan keluarga yang terlalu dalam, hingga terkadang rasa stres yang datang, semua itu membuat keluarga kami menjadi tidak sehat. Kalau sudah begitu, pikiran-pikiran negatif jadi tidak terbendung. Akibatnya, hubungan kami berdua tidak lagi sehangat seperti di awal pernikahan.
Langkah Awal Memulihkan Keceriaan Keluarga
Saya sempat bertukar pikiran dengan seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog keluarga. Dia mengatakan kepada saya ada sebuah riset mengenai pernikahan bahwa tiga tahun pertama adalah masa-masa yang paling berat. Kuncinya adalah kerjasama dan komunikasi dengan pasangan, harus satu visi.Â
Ia menambahkan pula bahwa ada baiknya untuk memperbaiki cara pandang. Ia mengibaratkannya dengan membersihkan jendela yang kotor. Jika jendela rumah kita saja tidak jernih, apapun pandangan di luar akan selalu tampak buram.
Ah, betul juga, gumamku.
Tepatnya awal Oktober 2017 lalu, akhirnya saya memutuskan untuk menikuti suami saya di Kota Malang. Alhamdulillah, memang tinggal serumah membuat segalanya lebih baik. Kami bisa kembali masak bersama di dapur, menonton film di malam hari saat si kecil sudah tertidur, bermain bertiga sama si kecil, dan tentu saja olahraga dan liburan bersama.Â
Saya dan suami sepakat bahwa sebisa mungkin kami mengusir energi-energi negatif yang melelahkan batin. Selain itu, kami juga beritikad untuk mengatur hidup agar lebih seimbang, agar tidak mudah stres dan lelah. Suami menyanggupi saranku untuk refreshing di dalam kota paling tidak 2 minggu sekali dan jika ada anggaran lebih, suami juga sepakat untuk berlibur di luar kota.
Menjaga Kehangatan Keluarga dengan Berlibur di Pantai
Kebetulan Malang dekat dengan berbagai destinasi wisata, serta tidak jauh dari beberapa lokasi pantai selatan yang menawan. Saya segera meminta suami untuk meluangkan waktu dengan berlibur ke pantai. Kali terakhir saya mengunjungi pantai di Malang adalah pada tahun 2013, saat itu jalan masuk ke beberapa pantai masih susah.Â
Sekarang, rupanya ada banyak sekali pantai baru dengan daya tarik yang berbeda-beda. Pilihan saya jatuh pada Pantai Banyu Meneng, sebab Pantai Banyu Meneng merupakan salah salah satu dari sebagian kecil pantai selatan Malang yang memiliki ombak yang tenang dan cukup bersahabat untuk bermain bersama anak. Selain itu, daya tariknya lainnya adalah pantai ini masih sangat asri. Untuk menuju kesana saja kami harus melewati hutan dan bertemu beberapa binatang liar seperti ular, tupai, dan berbagai burung cantik di hutan. Di beberapa titik ada papan peringatan untuk tidak memburu berbagai jenis satwa liar termasuk lutung dan harimau yang masih kerap berkeliaran.
Awalnya kami mengira kami kurang beruntung sebab cuaca pada hari itu sangat kelabu, hujan deras pun turun mengiringi keberangkatan kami. Entahlah, mungkin karena efek super blue blood moon karena kami berpergian tepat sehari setelah fenomena langka tersebut. Saya tidak mampu menahan kekhawatiran, mampukah kami melewati jalan terjal disana? Kalau licin bagaimana? Kalau liburannya jadi nggak asik gimana?Â
Ketakutan saya bukan tanpa alasan. Jalan menuju Pantai Banyu Meneng masih sangat terjal, penuh tanah dan bebatuan serta berpotensi menjadi licin jika terkena air hujan. Dengan mobil manual biasa, saya nyaris pesimis. Tapi kembali saya ingatkan diri saya sendiri untuk berpikir yang positif-positif saja. Kami pun berusaha mengusir ketakutan dengan kekuatan dzikir dan doa.
Alhamdulillah, setelah lepas dari daerah Gondanglegi atau kira-kira pasca kami menempuh perjalanan sejauh 35 km, cuaca kembali bersahabat dan awan cumulonimbus sudah tidak lagi terlihat. Sebagai gantinya, kami disuguhi awan biru yang cerah dengan berbagai burung yang terbang rendah. "Yung...yung.."Mahira terlihat sangat gembira melihat pemandangan yang jarang ia saksikan.
Meski demikian, dampak alam tidak dapat kami lawan. Hujan menyisakan jalan penuh lumpur di beberapa titik dan tanpa ada batuan sebagai "pijakan". Momen menegangkan itupun datang, ditambah saat itu hanya kami satu-satunya mobil yang melintasi jalan terjal di tengah hutan. Benar saja, karena sangat licin mobil hampir selip! Beruntung driver kami sangat handal, beliau satu-satunya diantara kami yang tetap memasang muka rileks.
Sungguh nikmat berkumpul bersama keluarga sembari bermain pasir dan berenang di tepi Pantai Banyu Meneng. Sengaja kami berdiam lebih lama sambil menunggu jalan yang licin itu mengering. Syukurlah, saat perjalanan pulang tidak ada lagi tragedi ban selip. Liburan kali ini lebih mirip sebuah petualangan kecil, selain harus melewati rintangan, berbagai hewan yang kami temui juga membuat kami takjub.Â
Jika sebelumnya saya dan suami berdoa agar akses ke pantai ini segera di aspal, buru-buru kami meralatnya. Sebab jika jalan semakin mudah, pengunjung akan berduyun-duyun dan kami khawatir satwa liar disini terancam. Biarlah jalanan tetap terjal, hitung-hitung bikin perjalanan makin seru, kan?
Ah, liburan singkat dan sederhana di awal tahun ini benar-benar menyenangkan!
Tepat dua minggu setelah liburan, saya dilanda mual berhari-hari. Rasanya sungguh tidak nyaman karena saya tidak bisa muntah dan hanya mual saja, mirip seperti orang masuk angin. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang terlintas, "Mas, jangan-jangan aku hamil?" naluri seorang ibu yang kuat membuat aku mengutarakan hal itu kepada suami.
"Wah, coba dicek aja ya," suami langsung membeli test pack. Saya berpesan padanya untuk membeli 3 buah test pack dengan merk yang berbeda-beda. Saya coba langsung di sore harinya.
Dan rupanya...
Positif! Saya hanya bisa tertawa begitu keluar dari kamar mandi, entahlah ada perasaan aneh dan geli saat mengetahui ada sesuatu yang baru di rahim saya. Sekali lagi saya ulangi tes seusai subuh pada hari berikutnya. Tetap sama, positif meskipun samar. Akhirnya kami putuskan untuk segera ke dokter SpOG.
Betapa gugupnya saya saat dokter mengatakan janin belum terlihat dan ada sesuatu di luar rahim, yang kemungkinan berupa kista atau kehamilan yang terjadi di luar rahim. Perkataan dokter membuat saya agak cemas. Pikiran saya kembali berlalu lalang, saya mulai takut serta khawatir. Sepulang dari dokter saya langsung curhat sama Ibu via WA dan beliau pun memberi saya nasihat, "Berpikir positif saja, ndhuk. Insya Allah si janin tumbuh kembangnya baik,"
Oiya! Berpikir positif rupanya tidak mudah ya, saya masih sering lupa. Sekali lagi saya pun menginstal kalimat-kalimat positif dalam benak saya. Dua minggu kemudian saya menjajal dokter SpOG yang berbeda. Baru saja saya merebahkan badan dan dokter menggoyang-goyangkan alat USG, beliau langsung sumringah, "Selamat ya mbak, alhamdulillah janinnya tumbuh normal di tempat yang tepat!"
Masya Allah rasanya terharu sekali. Meskipun saya harus sesegera mungkin menyapih anak pertama yang berusia 21 bulan dan mengurangi intensitas gendong-menggendong, saya juga punya pe'er baru yaitu mengedukasi Mahira bahwa dia akan segera menjadi seorang kakak.
Saya sangat bersyukur diberi amanah lagi saat sudah serumah sama suami. Si dia pun gerak cepat dalam membantu pekerjaan saya di rumah seperti di akhir pekan kami memasak bersama, mengajak Mahira bermain sebelum berangkat kerja, meluangkan waktu untuk family time, mengiyakan kapanpun saya ingin nonton film berdua, dan sesekali memijati kaki saya yang sering pegal karena bawaan bayi.
Hm.. bagi saya inilah kehangatan keluarga yang hqq*.
---
*hakiki