Di era sekarang sejauh mana kita memahami akar budaya kita sendiri? Di Jombang, Besutan bukan hanya sekadar tradisi, melainkan simbol identitas yang kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Di tengah derasnya arus modernisasi, apakah Besutan maish bisa bertahan, atau malah  justru perlahan memudar? Saat ini adalah kesempatan untuk mengenal lebih dalam warisan budaya ini menyelami maknanya, memahami perannya, dan bersama-sama menjaga agar supaya Besutan tetap hidup sebagai jati diri yang tak tergerus oleh zaman.
Besutan Jombang telah diakui oleh pemerintah pusat sebagai "Warisan Budaya Tak Benda. " Penyerahan salinan pengakuan ini dilakukan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, Agus Purnomo, di Banyuwangi pada tanggal 14 November 2020 (Supriyatno, 2020). Sayangnya,ternyata  banyak orang yang belum mengetahui bahwa Besutan Jombang merupakan cikal bakal kesenian Ludruk, yang merupakan salah satu kesenian asli dari Jawa Timur. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan Kabupaten Jombang dalam lintas sejarah kebudayaan di wilayah Jawa Timur.(Syafa Aulia Ibnatia 2021)
Meskipun sering kali dijuluki sebagai "Kota Santri", Jombang seringkali diasosiasikan dengan tradisi-tradisi keagamaan. Namun, realitasnya, warisan budaya yang dimiliki Kabupaten Jombang pun kaya dan beragam. Menariknya, Besutan Jombang itu sendiri, jika ditelusuri dari segi latar belakangnya, tidak memiliki hubungan langsung dengan elemen keagamaan. Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah Besutan Jombang dan seperti apa wujudnya?
Sejarah permulaan budaya Besutan cukup kompleks, Â kata "besutan" sendiri berasal dari "besut," yang berarti membersihkan, menghaluskan, atau mengulas, dan mencerminkan proses penyempurnaan dalam pertunjukan. Tradisi ini awalnya dikenal sebagai Lerok, yang kemudian berevolusi menjadi Ludruk. Di Jombang, istilah yang digunakan tetap Lerok, Besutan, dan Ludruk, tanpa memisahkannya ke dalam kategori seperti Ludruk Bandan atau Ludruk Besep. Istilah Besutan juga diartikan sebagai akronim dari "mbeto maksud," yang menggambarkan nilai-nilai yang terkandung dalam kidungan, busana, dialog, dan cerita yang disuguhkan.
Perkembangan tradisi ini tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat agraris di Jawa Timur. Di daerah pinggiran, terutama Jombang, banyak penduduk yang bergantung pada pertanian, dan hasilnya sering kali tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Situasi ini mendorong munculnya inovasi dalam bentuk pertunjukan. Sekitar tahun 1907, seorang petani bernama Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, yang dikenal dengan wajah lucunya dan penuh humor, memutuskan untuk mencari penghasilan tambahan dengan mengamen. Bersama Pak Amir dari Desa Plandi, mereka mengiringi penampilan mereka dengan musik kendang. Tidak lama kemudian, Pak Pono juga bergabung dan mengenakan busana wanita, memberikan warna berbeda pada pertunjukan tersebut.
Mereka bertiga mengamen dengan semboyan berbentuk pantun atau parikan yang berbunyi:
"Keyong nyemplung neng blumbang
Tinimbang nyolong aluwung mbarang. "
(keong masuk ke kolam daripada mencuri lebih baik mbarang/ngamen).
Masa ngamen ini berlangsung antara tahun 1907-1915 dan dikenal sebagai periode Lerok Ngamen, di mana para pengamen menghias wajah mereka agar tampak lucu dan sulit dikenali.(Ditjen Kebudayaan 2019).