Mohon tunggu...
nabila syifa haque
nabila syifa haque Mohon Tunggu... mahasiswa

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Boikot Brand Pro-Israel: Ujian Nyata Komunikasi Krisis Perusahaan

20 Juni 2025   12:14 Diperbarui: 20 Juni 2025   12:14 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Solidaritas Palestina: Gerakan Boikot Produk Israel (Sumber: Wawai Media)

Oleh Nabila Syifa Haque

Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Ibn Khaldun Bogor

Boikot terhadap merek-merek besar seperti McDonald's, Starbucks, dan Unilever mencuat sejak konflik Palestina-Israel kembali memanas pada akhir 2023. Aksi boikot ini tidak hanya terjadi di Timur Tengah, tetapi juga di Indonesia dan berbagai negara mayoritas Muslim lainnya. Dari sisi Public Relations (PR), situasi ini merupakan ujian nyata bagaimana perusahaan menghadapi krisis reputasi di tengah tekanan opini publik yang masif. Pertanyaannya: bagaimana seharusnya PR bertindak dalam kondisi serba sensitif seperti ini?

Menurut laporan Kompas (31 Januari 2024), McDonald's Indonesia mengakui adanya penurunan omzet akibat kampanye boikot. Namun, manajemen menegaskan bahwa operasional mereka sepenuhnya independen dan tidak berafiliasi dengan McDonald's Israel. Mereka juga menekankan bahwa seluruh gerainya dimiliki oleh pengusaha lokal dan tidak ada keterlibatan dalam konflik politik global. Namun klarifikasi ini belum cukup kuat menahan gelombang boikot, karena komunikasi perusahaan dinilai terlalu lambat dan tidak menyentuh sisi emosional konsumen.

Sementara itu, Starbucks bahkan menghadapi gugatan hukum akibat krisis ini. Berdasarkan CNBC Indonesia (6 Maret 2024), perusahaan tersebut memecat sekitar 2.000 pegawai di kawasan Timur Tengah akibat dampak boikot yang berkepanjangan. Boikot dipicu oleh gugatan Starbucks terhadap serikat pekerjanya sendiri, yang sebelumnya memposting dukungan terhadap Palestina. Situasi ini memperparah persepsi negatif terhadap brand di mata publik global.

Dalam konteks teori komunikasi krisis dari W. Timothy Coombs, situasi ini menuntut strategi rebuild dan bolstering. Perusahaan tidak bisa sekadar membela diri, melainkan harus menunjukkan empati dan keterlibatan sosial. Langkah Starbucks menggugat serikat pekerja dapat dikategorikan sebagai strategi denial yang kontraproduktif. Sebaliknya, klarifikasi McDonald's meskipun lambat, masih mengarah ke rebuild karena mencoba meredam sentimen dengan fakta lapangan.

Model Two-Way Symmetrical dari James Grunig juga menjadi acuan penting. Dalam model ini, PR dituntut untuk membuka dialog dua arah yang adil dan setara. Brand harus mendengarkan keluhan publik dan merespons dengan pendekatan transparan. Sayangnya, sebagian besar brand memilih jalur aman: diam atau sekadar membuat pernyataan datar. Hal ini menyebabkan publik membentuk interpretasi sendiri, yang bisa berujung pada rusaknya citra brand dalam jangka panjang.

Dalam era digital, tekanan dari netizen bisa lebih kuat dari tekanan lembaga resmi. Komentar viral, kampanye boikot di media sosial, dan opini influencer mampu membentuk persepsi publik hanya dalam hitungan jam. Oleh karena itu, PR yang efektif harus bergerak cepat, terbuka, dan strategis. Krisis seperti ini hanya bisa dikelola dengan pendekatan empati, keterbukaan, dan keberanian untuk mengambil posisi yang benar di mata publik.

McDonald's Indonesia menjadi contoh bagaimana cabang lokal mencoba mengelola krisis reputasi global. Dalam klarifikasinya yang dimuat di berbagai media nasional, pihak McD Indonesia menegaskan bahwa operasional mereka dimiliki oleh investor lokal, tidak terlibat konflik luar negeri, dan memiliki karyawan lebih dari 16.000 orang. Meski pernyataan ini disampaikan ke publik, kampanye boikot tetap bergulir karena sentimen publik seringkali tidak hanya dipengaruhi oleh fakta, tapi juga oleh emosi dan persepsi.

Dalam krisis seperti ini, komunikasi PR tidak hanya ditujukan ke luar (publik eksternal), tetapi juga ke dalam (internal). Karyawan juga berpotensi terdampak secara psikologis ketika brand tempat mereka bekerja diserang publik. Komunikasi yang tepat kepada karyawan akan membangun semangat dan kepercayaan, yang pada akhirnya berdampak pada kekuatan internal organisasi dalam menghadapi krisis.

Untuk menghindari kerusakan reputasi yang lebih besar, perusahaan harus memiliki rencana komunikasi krisis yang siap dijalankan kapan saja. Hal ini mencakup strategi tentang siapa yang berbicara, melalui saluran apa, dan kapan waktu yang tepat. Dalam konteks sosial-politik yang sensitif, komunikasi harus berbasis data, menyentuh emosi publik, dan menghindari kesan defensif atau kaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun