Mohon tunggu...
Nabilah Permata
Nabilah Permata Mohon Tunggu... -

falling in love with rain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Insan Berlumur Dosa

31 Oktober 2015   20:22 Diperbarui: 31 Oktober 2015   20:31 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Akhir-akhir ini, suatu kebiasaan–yang bisa dibilang cukup kekanak-kanakan–semakin sering terulang. Aku tak tau apakah ini sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Layaknya sebuah siklus, ada suatu faktor  tak terelakkan yang mendorong kecepatan perputarannya. Aku sendiri tak yakin apa tujuan sebenarnya dari kebiasaan ini. Tapi yang jelas, aku sadar diri bahwa kegiatan ini tak ada salahnya jika dilakukan demi orang lain.

Malam semakin larut, sudah tiba saatnya. Aku berjalan santai menuju bilik tengah rumahku. Terdengar sendau gurau dari kejauhan. Tanpa sengaja, segoret senyuman tipis terlukis di wajahku. Belum sempat melewati sekat, aku sudah ditegur, “Tuh kan, kamu lupa lagi membawa bantal dan gulingmu. Cepat ambil le, ayahmu ini sudah mengantuk lho”. Kenapa bantal dan guling? Percaya atau tidak, keluarga satu anak ini berencana tidur bersama dalam satu ranjang. Itulah yang kumaksud, kami rela bersempit ria agar bisa tidur bersama. Sebenarnya aku tak dekat dengan ayahku, itu karena beliau selalu sibuk bekerja sepanjang hari, pulangnya pun larut malam. Berbeda dengan ibuku, beliau selalu ada di rumah menemaniku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika teman-temanku tau, jika seorang anak laki-laki  yang minggu depan sudah duduk di bangku SMA masih tidur di satu ranjang bersama ayah dan ibunya.

Memang benar, waktu itu–saat bulan terbaik dalam Islam tiba–aku mendapat suatu hidayah yang tak kusangka akan sangat mempengaruhi kehidupan masa depanku. Saat itu matahari mencapai puncaknya. Dalam keramaian lalu lintas yang  hiruk piruk aku sudah tak kuasa menahan panas. Kemudian aku memustuskan untuk berhenti sejenak membeli segelas es jeruk di salah satu pedagang kaki lima. Seorang bocah laki-laki–mengenakan baju koko putih–yang sebelumnya memandang terus ke arahku dengan wajah penuh pertimbangan, akhirnya ikut membeli pelepas dahaga juga. “Sekolah dimana dik? Kelas berapa?”, iseng-iseng aku bertanya. Saat itu dia tengah memegang es jeruk yang baru diterimanya. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah bergumam kepada dirinya sendiri, “Astaghfirullahhaladzim.. Maafkan aku Ya Allah, aku sempat telgoda hanya kalena melihat salah satu bentuk lain dali syaitan Ya Allah. Malaikat, tolong ya malaikat jangan kebulu mencatat amalku barusan ya malaikat. Aku benal-benal minta maaf Ya Allah”.

Ia mengatakan hal itu sambil menoleh ke bahu kanan dan kirinya. Langkah selanjutnya yang ia lakukan yaitu menumpahkan es jeruk tadi –sambil membaca basmalah–di atas sebuah bunga kecil berdaun coklat yang tanahnya sudah sangat keriput. Sampah plastiknya ia buang  ke tempat sampah. Kemudian ia meneruskan langkahnya masih dengan raut muka penuh penyesalan. Entah apa yang kurasakan saat aku melihat kejadian itu. Dari seragamnya sebenarnya aku sudah tau bahwa ia adalah murid dari salah satu sekolah TK Islam di Balikpapan. Seketika itu aku merasa diriku hina. Siswa kelas tiga SMP berani-beraninya membatalkan kewajibannya hanya untuk memenuhi nafsu semata. Umur bertambah, bukannya semakin dewasa, aku malah makin susah membendung nafsuku sendiri. Ingin rasanya aku duduk bersimpuh saat itu juga untu meluapkan emosi rasa penyesalanku yang tak mampu lagi kubendung. Aku langsung berlari menembus keramaian dengan tangan kanan menggenggam erat sekantong plastik es jeruk yang kemudian bocor terkena cengkeraman kukuku. Di saat itu juga aku bertekad akan masuk sebuah pondok pesantren yang akan menjadi saranaku dalam menuntut ilmu agama lebih tinggi lagi.

Seminggu lagi adalah waktu keberangkatanku menuju tempat yang kuimpikan, Pondok Pesantren Darussalam Gontor Pusat, Ponorogo jawa Timur. Aku sudah bertekad pergi jauh-jauh demi menuntut ilmu. Awalnya ibuku sangat heran dengan keputusanku. Aku mendadak berubah drastis. Sebenarnya aku juga tak menyangka kedua orang tuaku akan mengizinkanku. Mungkin karena mereka benar-benar ingin aku berubah. Itulah alasan mengapa keluargaku memutuskan agar kami sekeluarga tidur di satu ranjang dalam dua pekan terakhir sebelum aku berangkat . Terkesan berlebihan memang. Tapi inilah kenyataannya, suasana terasa sangat bebeda saat hari-hari terakhirku di rumah sebelum masuk  SMA.

Keberangkatanku membuat tangis keluargaku pecah. Air mata melimpah ruah. Akan tetapi, pada saat-saat seperti itu aku merasa keheningan menyelimutiku. Seakan-akan tak mampu memikirkan apapun, aku hanya mengikuti  alunan waktu yang mengalir dengan sendirinya. Membuat diriku terombang-ambing dengan menanti dan menebak rintangan selanjutnya yang akan menghadangku. Sesungguhnya jika aku jujur mengungkapkan perasaanku dari lubuk hati terdalam, ada sesuatu yang mengganjal. Bukan sesuatu yang kecil sebenarnya. Hanya saja aku seperti tak mau berurusan dengannya, hanya ingin melewatinya dan terus menatap ke depan tanpa menhiraukannya. Namun di sisi lain, mungkin saja karena sesuatu itu letaknya sangat-sangat dalam hingga aku tak mampu menjangkaunya, apalagi untuk urusan mengatasi, aku yakin aku tak bisa. Biarlah kusimpan dulu dalam sanubariku.


---

Sudah tiga hari aku bernaung di lingkungan Pondok Pesantren Darussalam Gontor. Sebelumnya ibuku pernah mengatakan, “Jangan lupa ya le, jika kamu sudah sampai di pondok dengan selamat, langsung hubungi ibumu ini ya le. Ibu tidak akan berhenti berdoa untuk keselamatanmu le”. Rasanya tidak enak juga pada ibuku, aku sampai tak sempat mengirim satu kabarpun kepadanya sejak kedatanganku. Kegiatan di pondok sangat padat, aku pun harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baruku. Tapi sepertinya ibu pasti akan memaklumi anak sulungnya ini. Sebelum tidur, aku menyempatkan diriku untuk meneleponnya.

“Assalamualaikum Bu. Ini Umar sudah ada di pondok kok bu. Kegiatannya di sini sangat banyak , jadi Umar sangat sibuk. Segala hal harus kulakukan sendiri di sini. Suasana di sini juga beda bu, sangat ramai. Tidak seperti lingkungan rumah kita bu”.

“Waalaikumsalam. Syukur alhamdulillah le kamu selamat sampai tujuan.  Ibu sangat lega. Bagaimana dengan teman-teman barumu di sana?”, aku merasa suara ibu seperti tercekat, tapi itu mungkin hanya perasaanku saja atau hanya sekedar  gangguan sinyal. Wajar lah, jarak ibu dan aku sudah sangat jauh. Aku di sini, sedang ibu di sebrang lautan. “Wah coba saja kalu ibu ada di sini. Ibu pasti kaget. Di sini orang-orangnya beda bu. Semuanya seperti monster yang siap melahap mangsa. Teman-temanku tidak ada yang bodoh bu. Walaupun diam mereka punya senjata khas sendiri-sendiri untuk mengatasi musuhnya. Aku saja sampai kewalahan bu. Banyak sekali temanku yang sudah hafal beberapa juz Al-Quran. Aku saja hanya hafal juz tiga puluh bu. Apa aku bisa-“, tiba-tiba sambungannya terputus. Aku kesal dengan ibuku. Ibu memutus pembicaraan di tengah-tengah perkataanku. Padahal aku menjelaskan ceritaku dengan penuh antusias.

Beberapa hari berlalu dan telpon dari ibu tidak kuangkat. Saat ini aku memang sangat sibuk dan masih ada rasa kesal dalam hatiku. Setelah aku amati, sepertinya teman-temanku menghubungi orang tuanya hampir setiap hari. Akhirnya aku merasa tergerak untuk menghubungi ibuku lagi. butuh waktu beberapa menit sampai teleponnya tersambung. “Assalamualaikum. Ah ibu kenapa kemarin diputus sambungan teleponnya? Kan aku masih cerita kepada ibu. Padahal saat itu aku cerita pada ibu dengan penuh semangat, eh malah terputus.”, ucapku dengan nada sedikit kesal. “Maaf ya le, Ibu tidak sengaja waktu itu le, maaf ya. Bagaimana keadaanmu sekarang le?” ibu menjawab dengan nada pelan, nyaris seperti berbisik lebih tepatnya. Sebenarnya alasan ibu tidak terlalu jelas, nada bicaranya juga sedikit aneh, tapi aku malas menanyakannya lagi. Mending aku cerita tentang masalahku yang menumpuk ini. “Ibu tidak tahu kan, di sini aku sangat menderita bu. Tugasku banyak sekali, sainganku berat-berat. Setiap hari aku harus melakukan segalanya sendiri, itu rasanya lelah sekali bu. Coba saja kalau ibu ada di sini, ibu pasti bisa melihat keadaanku secara langsung.”, ucapku panjang lebar. “Yang sabar ya le. Ibu di sini selalu mendoakan yang terbaik buat kamu le. Percaya sama ibu le, kamu pasti bisa menghadapi semua rintangan. Sejak lahir kamu itu ditakdirkan menjadi laki-laki yang tangguh,” suara ibu terdengar semakin lemah, seperti tertahan, “nilai tertinggi dari seorang manusia bukanlah dimana ia berpijak pada saat-saat nyaman dan menyenangkan, tapi dimana ia berpijak pada saat-saat tantangan dan pertentaangan. Jangan lupa ya le kata-kata ibu barusan. Walaupun kamu berada dalam keadaan sesulit apapun, kamu harus ingat semua kata-kata ibu barusan le. Ibu yakin kamu pasti bisa le. Ibu sayang Umar”. Kalimat-kalimat itu sangat menyejukkan hatiku. Ibu benar, aku pasti bisa melakukannya. Tapi kemudian, hal ini kembali terjadi lagi. Sambungannya terputus.  Sebenarnya ada apa dengan ibuku ini? Kali ini aku dibuat jadi sangat penasaran dengan keadaanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun