Mohon tunggu...
Nabila Fitri Aulia
Nabila Fitri Aulia Mohon Tunggu... Pelajar/Mahasiswa

suka membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Kata Kehilangan Makna: Kepalsuan Bahasa di Dunia Maya

10 Juni 2025   07:27 Diperbarui: 10 Juni 2025   07:25 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Di era digital yang serba cepat dan terkoneksi, kata-kata tak lagi sekadar alat komunikasi. Mereka telah menjadi komoditas---dibentuk, dipoles, dan diputar sedemikian rupa untuk membentuk citra, membangun persona, dan menyembunyikan realita. Dunia maya telah melahirkan fenomena baru: kepalsuan bahasa.

Media sosial, platform perpesanan, hingga kolom komentar kini dipenuhi ungkapan-ungkapan yang tampak positif, tetapi kerap kosong dari makna sejati. Ungkapan seperti "Stay humble", "Self-love", atau "Grateful always" berserakan di profil publik, bahkan ketika tingkah laku pemilik akun menunjukkan sebaliknya.

"Bahasa di media sosial hari ini lebih sering berfungsi sebagai topeng daripada sebagai cermin," kata Dr. Aulia Ramadhan, pakar linguistik digital dari Universitas Indonesia. "Ada jarak besar antara kata yang diucapkan dan kenyataan yang diwakilinya."

Contoh paling jelas dapat ditemukan pada fenomena "toxic positivity", di mana narasi kebahagiaan dan kesuksesan dipaksakan secara terus-menerus, bahkan ketika seseorang sedang dalam kondisi sulit. "Orang merasa harus menampilkan diri yang 'baik-baik saja' agar diterima," tambah Aulia.

Bahasa juga menjadi senjata dalam menciptakan opini publik. Istilah seperti "buzzer", "narasi kontra", dan "framing media" menunjukkan bagaimana kata-kata dimanipulasi untuk tujuan politik dan ekonomi. Dalam konteks ini, realitas sering kali dikaburkan, diganti dengan versi yang dikurasi.

Lebih ironis lagi, kepalsuan bahasa ini tak hanya berdampak pada persepsi orang lain, tetapi juga mempengaruhi identitas diri pengguna. "Kita bisa kehilangan diri sendiri ketika terlalu lama hidup dalam bahasa yang kita rekayasa sendiri," ujar Rika Mahendra, seorang psikolog media.

Namun tidak semua suara tertelan oleh kepalsuan. Beberapa komunitas daring mencoba melawan dengan menyuarakan kejujuran, membagikan pengalaman hidup secara autentik, dan menolak untuk sekadar "ikut arus". Meski kecil, gerakan ini menjadi pengingat bahwa kata masih bisa bermakna jika digunakan dengan kesadaran.

Pada akhirnya, dunia maya bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal tanggung jawab berbahasa. Sebab ketika kata tak lagi mewakili realita, maka komunikasi berubah menjadi ilusi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun