Mohon tunggu...
Muhammad Nabhan Fajruddin
Muhammad Nabhan Fajruddin Mohon Tunggu... Lainnya - Petualang Ilmu

Akademisi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uang Menodai Demokrasi Negeri Ini

9 Desember 2020   11:15 Diperbarui: 5 Juli 2023   13:32 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Negeri yang bekas jajahan Belanda ini, pesta demokrasi sering dikaitkan dengan pesta rakyat. Dalam pengertian sebenarnya pesta di sini berarti penyaluran aspirasi rakyat, dalam rangka untuk memilih pemimpin atau perwakilannya yang sesuai hati nurani. Pesta demokrasi konon berazaskan 'luberjurdil' yang berarti langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Tapi mungkin dalam praktiknya hanya tiga poin pertama saja yang dapat di terapkan, poin sisanya masi sulit untuk di terapkan.

Bicara tentang jujur dan adil ada cerita menjelang pilkada di kotaku. Kebetulan ada dua pasangan calon walikota dan calon wakil walikota yang mencalonkan diri. Pada masa kampanye, banner, spanduk, stiker, mobil yang di penuhi gambar paslon, sampai goyang tiktok pun menjadi sarana untuk mempromosikan paslon. Memang dalam praktiknya pilkada dan pemilu hampir sama dengan olshop-olshop (pasar online) yang melakukan promosi dengan harapan dagangannya dipilih dan dibeli oleh pembeli. Malah bisa dikatakan lebih terhormat olshop, karena olshop mempromosikan dagangannya saja, tanpa memberi pembelinya uang untuk membeli produk olshop.

Begitu ramainya pesta demokrasi yang ada di kotaku. Mungkin benar teori tentang si kaya lebih berkuasa dari masyarakat miskin karena di kotaku juga demikian kedua calon itu berasal dari keluarga konglomerat. Entah apa yang ada di benak mereka sudah bergelimang harta saja masih kurang akan kekuasaan. Sudah khusnudzon saja mungkin uangnya akan disalurkan untuk kesejahteraan. Menjelang hari pemilihan ada 'pecut' orang yang mengumpulkan KTP dari paslon tertentu mulai bergerilya mencari KTP untuk di data. Katanya kalau mengumpulkan KTP akan mendapat uang dari paslon tertentu. Di kampung ku terdapat dua pecut dari paslon nomor 1 dan 2. Jika, ada orang yang mendukung paslon nomor 1 maka mengumpulkan ke 'pecut' dari nomor 1 begitu pula sebaliknya. Namun, warga kampung diam-diam mengumpulkan KTP ke kedua pecut, dengan maksud mendapat uang dua kali lipat.

Mungkin kampungku merupakan gambaran dari masyarakat negeri ini yang masih rakus akan harta. Persoalan utama yang menjadikan mereka rakus bisa disebut kemiskinan. Miskin dari segala sudut pandang, miskin secara lahir dan miskin secara hati atau bisa dikatakan kurang bersyukur. Disi lain, pemberian uang kepada rakyat pada saat pemilu dan pilkada ini bisa dibilang money politic, dan ini dilarang dalam Undang-undang. Persoalan money politic ini bisa dikatakan menjadi hal yang umum atau rahasia umum. Saya heran lantas untuk apa dibentuk Bawaslu atau Panwaslu, kalau mereka hanya bisa diam bila terjadi money politic. Saya berasumsi mungkin para anggota Bawaslu dan Panwaslu juga menerima uang money politic atau sudah memaklumkan money politic terjadi. Dari cerita pemilu di kotaku ini bisa tergambarkan bahwa jujur dan adil tidak terimplementasi dalam kontes pesta demokrasi.

Budaya ini akan tetap berjalan selama calon pemimpin yang mengikuti kontes pemilu atau Pilkada ini, berpikir ketika tidak melakukan bagi-bagi uang akan kalah dalam pemilu atau pilkada. Dan rakyat yang masih gila akan harta dan miskin hati atau kurang bersyukur, maka budaya ini akan tetap ada. Maka, kedua elemen ini baik calon pemimpin yang akan mencalonkan diri dan rakyat harus memahami dan menanamkan budaya money politic adalah hal yang tabu dan tidak sesuai dengan asas demokrasi yang terdapat di Pancasila.

Ada yang mengatakan bahwa money politic merupakan akar dari korupsi. Statmen ini mungkin benar karena calon pemimpin yang money politic, layaknya penjual yang menginginkan modalnya kembali bahkan berusaha memperoleh keuntungan. Hasilnya dana hibah dari proyek tertentu, dana sosial untuk batuan korban Corona, ekspor lopster, dan segala bentuk korupsi lainnya menjadi lumbung penghasilan ketika gaji mereka belum cukup untuk menutupi modal dalam pencalonannya dan kebutuhan serba galmornya. Maka beginilah kondisi negeri kita yang haus akan harta, baik rakyatnya maupun pemimpinnya.

Mungkin ketika semua orang memiliki sudut pandang tasawuf, permasalahan seperti di atas akan teratasi walaupun sedikit. Ketika rakyat yang memiliki sudut pandang taswuf masih miskin maka dia akan menerima atau dalam ilmu taswauf disebut qanaah. Fase selanjutnya dari qanaah atau sikap menerima ini adala syukur. Maka baik rakyat maupun calon pemimpin ketika memilki sudut pandang demikian akan terlepas dari budaya money politic yang mengincar manusia yang rakus baik akan harta maupun kekuasaan. Demokrasi akan sehat dan pulih kembali ketika rakyat dan pemimpin menggunakan nuraninya dalam pesta demokrasi, karena nurani  merupakan sumber kebenaran yang alami dari dalam hati manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun