Mohon tunggu...
Alatte
Alatte Mohon Tunggu... Mahasiswa

Kritik isu feminisme, sosial, budaya, dan politik, hingga pembungkam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Luka yang Diasingkan: Membaca Pulang Karya Leila S. Chudori

30 Mei 2025   17:31 Diperbarui: 30 Mei 2025   17:31 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara."
---Seno Gumira Ajidarma

Sejarah yang kita pelajari di bangku sekolah belum tentu mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Ungkapan bahwa "sejarah ditulis oleh para pemenang" menjadi penanda bahwa kebenaran sejarah bisa saja dimanipulasi, disesuaikan dengan kepentingan pihak tertentu. Jika demikian, bagaimana kita bisa mengetahui sejarah yang sebenarnya?

Karya sastra dibuat tak hanya untuk kesenangan pribadi sang penulis, tetapi karya sastra dapat digunakan sebagai alat yang dapat membuka sejarah kelam yang dibungkam dalam suatu bangsa. Ini selaras dengan perkataan yang mengatakan "Jika jurnalis dibungkam, sastra akan bicara" oleh Seno Gumira Ajidarma pada bukunya yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra harus Bicara (1997). Kebebasan berekspresi dalam membuat karya sastra membuat para pencipta karya sastra tak takut untuk bersuara secara vokal dalam menyampaikan ideologisnya. Seperti halnya para penulis di Indonesia yang berani untuk menyampaikan ideologinya melalui karya sastra yang mereka buat. Banyak karya sastra yang memuat sejarah kelam yang sudah semestinya diketahui oleh penerus bangsa yang mungkin akan memperbaiki kesalahan yang pernah terjadi. Adapun sastrawan seperti Pram dan lainnya yang selalu mengangkat tema sejarah kelam Indonesia. Saat ini ada salah satu penulis yang selalu mengangkat tema sejarah kelam di berbagai novel yang dia buat, ia adalah Leila S. Chudori.

Leila S. Chudori adalah penulis perempuan yang berasal dari Indonesia. Melalui kemahirannya dalam menggambarkan dan menceritakan sejarah kelam melalui cerita dengan bumbu fiksi, Leila berhasil membuat pembacanya memahami sejarah kelam yang terjadi di Indonesia. Beberapa novel yang diciptakan seperti Laut Bercerita (2017), Pulang (2012), hingga Namaku Alam (2023) sebagai spin-off dari Pulang yang mampu menarik pembacanya agar melek dengan sejarah-sejarah yang tidak pernah dikupas secara sempurna. 

Lewat novel Pulang (2012), Leila S. Chudori menyuarakan luka panjang para eksil Indonesia yang tidak hanya terusir dari negaranya, tetapi juga dihapus dari ingatan bangsanya. Dalam novel ini tidak hanya membahas Dimas dan Lintang, tetapi juga membuka tentang sejarah yang dibungkam. Pulang dikisahkan sebagai novel yang sangat gelap bagi sebagian pembaca. Menggabungkan kisah kelam Indonesia di tahun 1965 dan tahun 1998 yang membuat novel ini terkesan sangat gelap. Di mana Indonesia yang digambarkan sangat kacau serta Hak Asasi yang tidak ada harganya. Mengambil latar Prancis dan Indonesia, Leila menggambarkan bagaimana perbedaan negara tersebut saat menghadapi kekacauan yang terjadi. Paris yang digambarkan sangat amat terbuka dengan pendemo, sedangkan Indonesia yang sangat buruk saat menghadapi pendemo. 

Kata Pulang yang digunakan mempunyai arti yang menyakitkan. Pulang diartikan sebagai kata yang sangat dirindukan oleh eksil pada saat mereka diasingkan di negeri lain, hingga mereka kehilangan kewarganegaraannya. Pulang mungkin hanya satu kata tetapi ada beribu makna di dalamnya, seperti kerinduan, keinginan, hingga harapan. Mereka berharap bisa kembali ke tanah air yang sangat mereka cintai. Bayangkan seseorang yang tidak bersalah dipaksa untuk bercerai dengan tanah kelahiran mereka, bahkan ada yang berjuang mati-matian untuk merdeka, tetapi setelah merdeka dibuang begitu saja oleh negerinya. Ini sangat menyakitkan. Dituduh sebagai penjahat oleh penjahatnya sendiri. 

Melalui novel ini, saya jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia pada saat itu. Ini merupakan suatu hal yang baik, karena dari membaca buku ini kita dapat membuka pikiran kita terhadap sejarah-sejarah yang dihapus dan dihilangkan. Seperti yang kita ketahui, bahwa banyak generasi kita yang tidak mengetahui kebenaran yang sebenarnya terjadi di antara tahun 1965 hingga 1998. Saya beranggapan jika ini keburukan terbesar yang dilakukan oleh pencatat sejarah di Indonesia, karena seharusnya generasi-generasi muda dibiarkan untuk belajar agar dapat lebih waspada di kemudian hari. Namun, apa yang terjadi? Nyatanya generasi-generasi emas yang seharusnya menjadi modal malah dibodohi oleh bangsanya sendiri. Ini sangat miris. Saya sangat berharap jika generasi muda dapat belajar dengan membaca dan mencari tahu. 

Membaca Pulang adalah membaca kegelapan sejarah Indonesia. Tapi lebih dari itu, membaca Pulang adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dalam sebuah negara yang terlalu sering mengubur masa lalunya, sastra menjadi penanda bahwa kebenaran bisa dicari, dan harus disuarakan. Sebagai generasi muda yang tumbuh dalam sistem pendidikan yang minim kritik, saya merasa Pulang adalah peringatan. Bahwa menjadi buta terhadap sejarah adalah bentuk kebodohan yang disengaja. Dan bahwa kita harus belajar dari masa lalu, bukan untuk menyesalinya, tetapi untuk mencegah luka yang sama terulang.

Dari sini, saya memiliki harapan besar untuk pencipta karya sastra dan pencinta karya sastra agar lebih vokal menyuarakan kebungkaman yang terjadi di sekitar kita. Seperti, dengan menciptakan tulisan-tulisan dan karya-karya yang serupa. Dengan demikian, sedikit demi sedikit pembungkaman yang terjadi dapat berkurang dan terungkap. Saya percaya bahwa sastra masih punya tugas besar hari ini. Tugasnya adalah menyuarakan yang dibungkam, mengingatkan yang lupa, dan membangkitkan kesadaran kolektif. Sebab jika negara terus menolak untuk membuka luka-luka sejarahnya, maka kita harus melakukannya lewat kata-kata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun