Mohon tunggu...
Najib Abdillah
Najib Abdillah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berharap tersesat di lingkaran ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merayakan Bid'ah Hari Ibu?

22 Desember 2016   09:07 Diperbarui: 22 Desember 2016   09:36 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Indonesia, perayaan Hari Ibu terhitung ‘telat’ karena berada di tanggal 22 bulan Desember. Sebagian negara di Asia dan Eropa Hari Ibu diperingati di tanggal 8 Maret. Sebagian besar negara-negara Arab di tanggal 21 Maret. Yang paling banyak, tentu yang diselenggarakan di pekan kedua bulan Mei, seperti di Amerika Serikat, Australia, Brasil, Jerman, Jepang, Malaysia, dll.

Menurut mas Google lewat Wikipedia, konon Hari Ibu kali pertama dirayakan pada tahun 1908, ketika Anna Jarvis mengadakan peringatan atas kematian ibunya di Grafton, West Virginia. Sempat ditolak, akhirnya di tahun 1911 Hari Ibu dijadikan sebagai hari libur nasional. (Kok, di Indonesia gak libur-libur, ya?)

Sejarah penanggalan 22 Desember sendiri – masih menurut Wikipedia – ditetapkan berdasarkan ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama – yang digelar dari 22-25 Desember 1928. Jadi, pada awalnya tanggal ini diperingati secara umum yakni merayakan semangat wanita Indonesia. Bukan spesifik menyatakan rasa cinta kepada seorang ibu.

Menilik dari penjelasaan di atas, judul di atas telah terjustifikasi kebenarannya: Hari Ibu itu memang bid’ah!

Bayangkan, perayaan ini baru diawali pada permulaan abad ke-20 oleh negara non-muslim. Sudah begitu, diperingatinya pun karena adanya peristiwa kematian. Ini bid’ahnya super, nih: dasarnya diambil dari tasyabbuh dengan kaum non-muslim, lalu ada peringatan kematian seseorang pula. Astaghfirullah, haramnya sudah setingkat jadah. (Eh, jadah itu apaan ya?)

Jadi, bagaimana seorang muslim menyikapi Hari Ibu ini?  

Tenang-tenang, tarik nafas dulu dan jangan keburu sewot. Saya akan kasih beberapa pertimbangan agar mudah dipahami.

Pegangan utama seorang muslim itu ada dua, yaitu Qur’an dan Hadis. So, sila buka sendiri Qur’an dan cari dalil tentang Hari Ibu. Kalo gak bisa baca apalagi mengartikan, cari saja terjemahannya. Gampang, kan? Gimana, sudah ketemu belum?

(Ah, Qur’an kan banyak banget ayatnya)

Yasudah, kalo males saya kasih tahu nih, kalo di Qur’an itu tidak ada perintah untuk merayakan Hari Ibu. Sama seperti halnya tidak ada perintah merayakan Hari Kemerdekaan. Juga sama halnya seperti tidak ada tuntunan dalam Qur’an tentang bagaimana kita shalat. Lho, kok gitu sih? Emang ada yang bisa shalat langsung belajar dari Qur’an? Paling hebat, belajar shalatnya dari buku ‘Tuntunan Shalat Lengkap’ yang ada gambar orang ruku dan sujud itu. Hayo ngaku….

Di Qur’an tidak ada, lalu bagaimana dengan Hadis? Sila cari di enam kitab hadis ternama: Kutub as-Sittah. Mulai dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun