Mohon tunggu...
Mochamad Yusuf
Mochamad Yusuf Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik tentang IT, host radio, pengajar sekaligus praktisi IT. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, "Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA". Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Master of Facebook (9): Tangisan Saat Wisuda

26 Maret 2012   03:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13327330331333675826

[caption id="attachment_178314" align="alignleft" width="100" caption=""][/caption]Namun saya malah tak menemukan peristiwa ini saat wisuda S1 dulu. Padahal wisudawan S2 yang menangis tak hanya Bapak itu, tapi saya juga melihat pada seorang Ibu. Dia menunduk terus menahan tangis.

Oleh: Mochamad Yusuf*

Saat wisuda, terdengar isak tangis dari deretan bangku wisudawan. Istri dan Zidan, anak saya, yang duduk di deretan bangku undangan mencari-cari siapa gerangan yang menangis itu. Ternyata seorang Bapak menundukkan kepalanya, terus terisak-isak selama acara wisuda.

Bapak ini kemungkinan adalah guru, karena dia menempuh magister pendidikan. Dan kebanyakan memang sudah tua. Saya jarang menemukan mahasiswa pasca pendidikan yang muda. Muda artinya umurnya di bawah 30 tahun, dan untuk tua sebaliknya. Mungkin kebetulan, saya tak bertemu.

Agak aneh juga peristiwa ini. Mengapa Bapak itu menangis? Apakah dia begitu bersyukur karena akhirnya dia mencapai gelar master? Atau tak ada keluarga yang mendampinginya? Atau orang tua atau seseorang yang telah mendukung dan mendorongnya pencapaian gelar master selama ini, justru malah tak hadir mendampingi? Atau jangan-jangan menangis, karena berpikir bagaimana membayar hutang biaya pendidikannya ini? (Hehehe. Pertanyaan yang terakhir sangat ngawur).

Ya, saya merasa aneh. Karena saya pikir pencapaian gelar S2 tak seberat saat pencapai gelar S1. Menangis syukur tak seharusnya dilakukan saat wisuda S2. Tapi justru seharusnya di wisuda S1.

Namun saya malah tak menemukan peristiwa ini saat wisuda S1 dulu. Padahal wisudawan S2 yang menangis tak hanya Bapak itu, tapi saya juga melihat pada seorang Ibu. Bahkan saat ke panggung menerima tanda lulus dan inisiasi pemindahan tali toga oleh Rektor sepertinya tak dihiraukan. Dia menunduk terus samnbil menahan tangis.

Selain peristiwa wisudawan menangis, ada peristiwa lain yang membedakan wisuda S1 dan S2 saya, yakni siapa yang mendampingi saya saat wisuda.

Bila saat wisuda S1 saya didampingi keluarga secara lengkap. Ada Bapak, Ibu dan kedua adikku. Berlima dan ditemani teman yang mengabadikan momen istimewa itu, kita berdesakan di Angguna, mobil angkutan umum, yang dikemudikan Bapak. Berangkat persiapan cukup dan perasaan ceria.

Lain saat wisuda S2 ini. Saya hanya berempat: saya sendiri, istri dan kedua anakku. Ibu yang sebenarnya sudah saya beritahu lama, ternyata di saat-saat terakhir tak bisa mendampingi. Sedang Bapak sudah lama meninggal. Adik? Semuanya sudah berkeluarga. Tentu repot kalau mau ikut, karena pasti anak-anaknya akan ikut juga.

Berempat kita menaiki mobil sedan mewah meski tahun lama. Sudah pesertanya sedikit dan kecil-kecilnya, di dalam mobil sangat lapang. Meski begitu, suasananya tak seceria sewaktu berimpitan di Angguna dulu. Karena, ya namanya anak-anak, berangkat harus ribut sana-ribut sini. Juga harus tergesa-gesa berangkat ke hotel tempatnya wisuda. Ribet dulu pokoknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun