Mohon tunggu...
Lala_mynotetrip
Lala_mynotetrip Mohon Tunggu... Terus berupaya menjadi diri sendiri

Blogger pemula|menyukai petualangan sederhana|Suka bercerita lewat tulisan|S.kom |www.lalakitc.com|Web Administrator, Social Media Specialist, freelancer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Menikah & Segala Spekulasi yang Tercipta

13 Oktober 2025   06:41 Diperbarui: 13 Oktober 2025   08:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik, pagi ini membaca sebuah timeline yang berisi tentang curhatan sepasang suami-istri yang sudah menikah belasan tahun. Terbaca jelas ada kesedihan, cinta yang besar dan penerimaan. 

Gambarannya: sangat mencintai pasangannya, karena merasa setara dalam banyak hal. Bisa ngobrol seimbang dan lainnya. Namun, mereka belum di karuniai anak. Kekurangan tersebut tidak membuat satu pihak merasa kecewa, hanya sedih tetapi dia menerima dan tetap bersyukur karena sudah bertemu orang yang tepat. 

Sangat manis dan terasa langka ditemukan. Kebanyakan saat ada case seperti itu, perpisahan menjadi keputusan yang dipilih. Nyatanya diantara ribuan manusia, masih ada cinta yang tulus karena memang merasa sudah menemukan orang tepat dan percaya untuk sama-sama bertahan. 

Terasa jauh lebih manis dari kata-kata I love you. Yeah, kalimat demi kalimat yang ditulis seperti tertuang dari hati yang terdalam. Benar adanya, setelah menikah tidak ada lagi perasaan cinta yang menggebu. Yang ada banyaknya tumpukan obrolan dan kompromi. Bagaimana kedua insan bisa saling memahami dan memaklumi berbagai perbedaan. 

Menikah, isinya memang lebih banyak ngobrol. Berdiskusi dan bertukar pikiran, mancari solusi satu persoalan dan lanjut ke persoalan berikutnya. Maka tak heran, kalau banyak yang bilang "Misal ketemu orang yang bisa ngobrol dan diskusi secara dua arah. Bisa dipertimbangkan untuk naik level ke jenjang berikutnya". Berawal dari perkenalan dan mengamati cara ngobrol seseorang. 

Semakin kesini, informasi terkait pernikahan jauh lebih terbuka ketimbang tahun 2020-an kebawah. Dimana yang diketahui hanyalah seputar: menikah dengan lelaki mapan,  menikah karena siap (tapi tidak detail siap dalam hal apa saja). Menikah kalau sudah klop, menikah jika tabungan cukup, umur kamu sudah pas untuk menikah. Kebanyakan landasan menikah itu faktor ekonomi, keuangan mapan dan umur.

Padahal, secara fakta umur dan usia seseorang tidak bisa menjadi patokan buat beneran merasa siap atau tidak untuk menikah. Kebanyakan kesiapan itu disadari oleh dirinya sendiri dan jika beneran siap, akan segera berupaya. Banyak lho ya yang secara umur sudah matang tetapi faktanya jauh dari yang seharusnya. 

Jadi jangan terbebani menikah karena sudah umurnya. Percayalah, menikah itu tentang kesiapan untuk banyak berdiskusi dan berdialog secara lebih mendalam. Menurunkan ego pada saat yang tepat dan bersedia meminta maaf, mengakui kesalahan dan memperbaiki yang sudah terlanjur. 

Mesti memiliki pengendalian diri yang baik. Akan ada banyak percikan memancing emosi dan amarah. Kalau kamu tipe pemarah dan meledak-ledak, kasihan nggak sih pasangan mu? Setidaknya kamu mesti memiliki pengendalian emosi dan tetap menghargai perasaan pasangan mu. 

Memang ada, orang yang bisa mencintai dan menerima kamu sepaket. Tetapi seiring berjalannya waktu, orang akan merasa muak dan jengah bila hal-hal buruk yang dimiliki tidak dapat berkurang atau diperbaiki. Yang ada akan berakhir bubar. Meski nggak semua bubar alasannya seperti itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun