Mohon tunggu...
M. Wildan Sidqi Purwanto
M. Wildan Sidqi Purwanto Mohon Tunggu... Buruh Korporat

Pegiat musik rock Jogja yang nggak giat-giat amat

Selanjutnya

Tutup

Music

The Unsung Frontman: Kiprah Joe Lynn Turner dan Seni Menjadi Bayangan

4 Agustus 2025   13:47 Diperbarui: 4 Agustus 2025   13:47 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua orang ditakdirkan sebagai pemeran utama. Sebagian justru harus menerima panggung yang sudah lebih dulu diisi orang lain, lengkap dengan ekspektasi dan bayang-bayangnya. Joe Lynn Turner (JLT) adalah salah satunya. Meski dikenal punya warna vokal yang khas, namanya dalam sejarah rock lebih dikenang sebagai "underrated replacement vocalist" yang kerap dibanding dan diremehkan. Turner tercatat pernah menggantikan dua sosok vokalis ikonik yang karismanya mendefinisikan band itu sendiri---Ronnie James Dio di Rainbow dan Ian Gillan di Deep Purple. 


Rainbow Era JLT: Pencapaian dan Lagu-lagu Ikonik

Kalau ditelisik lebih jauh, JLT bukanlah vokalis sembarangan. Saat resmi didapuk sebagai vokalis Rainbow, band besutan Ritchie Blackmore ini mencapai fase paling sukses secara komersial. Tak hanya itu, Rainbow pun bertransformasi dari band hard rock bernuansa mistis menjadi radio-friendly. Album pertama JLT bersama Rainbow, Difficult to Cure (1981), melahirkan hit "I Surrender" yang menempati posisi #3 UK Singles Chart. Setahun kemudian, lewat album Straight Between The Eyes (1982) mereka merilis "Stone Cold" yang berhasil menembus Top 40 Billboard Hot 100 AS dan menduduki posisi #1 Billboard Rock Tracks. Ini merupakan pembuktian prestasi tertinggi dalam sejarah Rainbow dan terbilang langka bagi band dengan akar traditional British hard rock. Belum cukup sampai di situ, balada "Street of Dreams" dalam album Bent Out of Shape (1983) memperluas jangkauan pendengar Rainbow, terutama berkat sentuhan vokal JLT yang lebih melodik dan bernuansa blues. 

Secara musikal, Rainbow era JLT mungkin tidak seberat era Dio atau Bonnet. Namun lebih diterima dan melekat di ingatan publik karena keberhasilannya menjembatani hard rock dengan nuansa pop yang lebih emosional.


Menyelaraskan Teknik dan Emosi: JLT di Era Yngwie

Setelah Rainbow, JLT kembali membuktikan dirinya bukan sekadar pengisi kekosongan. Kali ini bersama gitaris virtuoso asal Swedia, Yngwie Malmsteen. JLT mengisi vokal di album Odyssey (1988), salah satu rilisan Yngwie paling sukses secara komersial. Lewat hits "Heaven Tonight" dan "Dj Vu", JLT menunjukkan kemampuannya mengimbangi gaya musik Yngwie yang kompleks tanpa kehilangan karakter vokalnya yang emosional. Album ini berhasil menembus Top 40 Billboard 200, menjadikannya sebagai pencapaian penting dalam karir Yngwie sekaligus memperluas jangkauan musiknya ke pasar musik dunia.

Meski hanya bekerja sama dalam satu album studio dan tur, era JLT kerap dianggap sebagai "era paling ramah bagi kuping awam" dalam katalog karir Yngwie. Di tengah dominasi teknikalitas yang kompleks, sarat neoklasik, dan aransemen yang segmented, JLT melalui Odyssey menyuntikkan nuansa pop-rock yang membuat musik Yngwie jauh lebih diterima oleh pasar mainstream.


Babak Baru Bersama Deep Purple

JLT kembali mengisi kekosongan yang ditinggalkan sosok besar. Kali ini dengan Deep Purple, menggantikan Ian Gillan yang hengkang menjelang dekade 90-an. Di mata penggemar lama, langkah ini dianggap cukup kontroversial. Gillan adalah suara dari hits seperti "Smoke on the Water" dan "Highway Star"---figur sentral di era keemasan Deep Purple. Meski begitu, JLT tetap melangkah dengan keyakinan di tengah bayang-bayang perbandingan.

Bersama formasi baru ini, Deep Purple merilis album ke-13 mereka, Slaves and Masters (1990) yang berhasil menempati posisi #87 Billboard Charts. Lagu "King of Dreams" dan "Love Conquers All" menjadi andalan, dengan menghadirkan nuansa yang lebih ritmik dan nge-pop. Meski tidak meledak seperti rilisan-rilisan sebelumnya, album ini tetap menunjukkan kualitas yang solid. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi untuk band veteran di tengah menghadapi pergeseran selera musik saat itu. Warna vokal JLT yang soulful itu memang terasa agak asing di tengah kultur Deep Purple yang dikenal agresif. Meskipun begitu, kehadiran JLT cukup berhasil memberikan warna baru dalam catatan sejarah panjang Deep Purple. 

Seperti biasa, namanya tak pernah menjadi sorotan utama, namun jelas menjadi jembatan penting antara musik teknikal dan telinga pendengar awam. JLT memang tak pernah benar-benar mendapat panggung utama, namun disitulah ia membuktikan kemampuannya mengisi ruang yang sulit dengan membawa karakter baru tanpa merusak fondasi lama.

Dalam sebuah wawancaranya pada April 2022 bersama Rolling Stone Germany, JLT menguak sisi lain yang telah lama ia sembunyikan. Ia mengungkap bahwa sejak muda, ia mengidap alopecia totalis. Sebuah kondisi autoimun yang membuatnya kehilangan seluruh rambut di tubuh. Lewat pengakuan itu, ia menunjukkan bahwa ketulusan dan kerentanan adalah bentuk keberanian yang tak kalah nyaring dari teriakan head voice. Di usia ke-74 yang ia rayakan pada 2 Agustus lusa, JLT adalah bukti bahwa suara bisa memimpin tanpa harus berdiri paling depan. Menjadi nomor dua bukan berarti kehilangan harga diri apalagi kualitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun