Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

“Tinaryo, Dasar Kamu Mbambungan !” (Cermin)

11 April 2012   08:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(1)

 

“Mbambung !” bergema kata-kata itu --- “Mbambungan kamu !” . Sungguh kata-kata antik, yang sudah lebih 52 tahun barangkali tidak pernah didengarkan gemanya lagi.

Kata-kata itu memicu kenangannya (kata-kata itu dibacanya dari Profil seorang teman Kompasianer).

 

Kami buruh di Percetakan Kilat itu ada 20-an orang --- dari Operator Mesin Cetak, Zetter, Kenek, Operator Tukang  Potong, Tukang Jilid, Tukang  Kemas, Tukang Masak, Tukang Belanja, Kepala Kantor , Kepala Gudang merangkap pemberi makan anjing, Pekerja Administrasi merangkap Pengantar Barang dan Pencari Order.

 

Percetakan itu kecil --- mesin cetak cepat, Snel ada dua dengan beberapa mesin Degel. Untuk mengimbangi pesanan kilat, buruh harus bekerja full-time, tiap hari kerja lembur --- mati-matian.

 

Itu di jaman tidak enak --- hampir tiap hari di ketemukan gelandangan mati terkapar di pinggir-pinggir jalan atau dekat bak sampah. Honger Oedem banyak terjadi di desa-desa --- mereka menggelandang mengais dan memakan sampah biji-bijian buangan (Ha ?).

 

Ya, Indonesia tahun 1960-an kekurangan pangan, kami di desa biasa memakan oyek atau klerot, dan entah akar dan biji  apa saja. (kira-kira perawakan para gelandangan seperti video di TV --- ancaman kelaparan di Afrika, begitu).

 

Kami para buruh di situ --- cukup dapat sarapan plus minum, makan siang dan malam, bermutu dari Warung Padang atau Kios Makanan Jawa --- pokoknya cukup bergizi.

 

Malam kopi lagi, plus minuman anggur dari Tiongkok.  Pokoknya kerja keras terus, banting tulang --- jam 07.00 sampai 22.00, bahkan bisa lebih. Tidak mengenal hari libur.

 --

Gaji kami mungkin kecil --- tetapi mendapat pekerjaan masa itu, sudah harus bersyukur.

 

Boss kami, pemilik percetakan itulah yang berhak memaki kami : “Mbambungan kamu !” --- terutama apabila ada buruh  yang mangkir atau terlambat.

 

Tinaryo hari ini, 11 April 2012 --- kembali untuk merenungi perjalanan pengalamannya sebagai buruh, setelah ia kembali menemukan kata-kata “mbambung”.

 

Boss itu lelaki gemuk dengan rambut gondrong kriting plus janggut, jambang dan kumis lebat; dia memakai songkok --- Tinaryo mencoba kembali membayangkan sosok boss itu --- dengan tingkah lakunya bila mengomeli kami.

 

Tinaryo terpaksa keluar dari percetakan itu karena --- boss menyuruh ia pindah kuliah di universitas swasta, yang kuliahnya tertentu, sore hari saja ---  dengan gontai Tinaryo mengemasi barang-barangnya ke beca.

 

Ia mendapat pesangon Rp. 36.000, plus tinggal di Losmen gratis 1 bulan --- Tinaryo merasa adil apa yang diperolehnya, ia puas bekerja di situ, walaupun tampaknya boss itu buas --- tetapi ia selalu berlaku adil.

 

Ia hanya marah ketika orang mbolos, atau malas bekerja --- hanya, ia juga kadang-kadang lupa, bahwa buruhnya mempunyai anak-bini. Bayangkan salah seorang Operator mesin cetaknya, yang bernama Lie Sam Ciang, barangkali tidak sempat bertemu dengan bininya, atau melihat perkembangan anak-anaknya.  Ia bekerja sekuat mesinnya.

 

(2)

 

“Barangkali kamu telah mendapatkan pekerjaan lain”, itu kalimat yang diingat Tinaryo, sepanjang beca dikayuh dengan suara bedernyit, melewati Pekojan dan menembus jalan kecil menuju  Depok --- Tinaryo mencoba mereka-reka bagaimana omelan boss itu, setelah ia pergi.

 

“Pemuda tidak punya inisiatif, apa dia tidak tahu ………….. ini Indonesia bung, B.A. , B. Sc dan para Sarjana tammat jadi pengangguran --- dasar Mbambungan !”.

 

Beca tiba di Losmen Kauman, langganan percetakan --- pemiliknya, para penghuninya, para pedagang kecil, peramu obat-obatan yang selalu memesan etiket merk dagangnya, adalah langganan Percetakan Kilat.  Barang-barang diturunkan, memasuki kamar.

 

Terpikir.  Memang Boss  itu seorang yang berjiwa sosial, pembela kaum miskin, ke desa-desa memberi bibit kambing dan ternak --- Cuma dia   lupa, kami, buruhnya juga terkadang memerlukan “waktu” luang  --- untuk anak-bini, berpacaran atau berkhayal dan bermimpi.

 

 

 

[MWA] (Cermin Haiku -33)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun